Rabu, 10 September 2008

AKAR KEKERASAN MINORITAS dan PROBLEM PLURALISME

Oleh : Moh. Sulhan

Kekerasan yang menimpa kelompok minoritas agama akibat perbedaan pemahaman dengan kelompok mayoritas dominan, merupakan bentuk radikalisme keagamaan[174] yang dapat mencederai kohesivitas masyarakat. Sikap dan pandangan keagamaan yang toleran dan pluralistik, menjadi prasarat penting dalam membangun masyarakat Indonesia yang multikultur. Kemajemukan sosio-budaya dan agama di Indonesia harus menjadi daya dorong yang progresif dalam menjamin keberlangsungan tiap potensi ini, berkembang dan berjalan lebih memadai secara holistik dan integral. Tak diperkenankan atas alasan apapun, mencerai-beraikan potensi yang demikian besar, hanya karena sempitnya perspektif yang dimotivasi oleh premordialisme, baik suku, ras, politik, atau agama. Toleransi dan pandangan pluralisme agama, paling tidak dapat dilihat dari kesiapan dan kemauan untuk menerima perbedaan sebagai karakteristik unik penciptaan.
Tak pernah ada konsep integrasi[175] dalam level apapun, lokal, regional atau nasional, jika terjadi konflik agama. Toleransi dan kesadaran pluralisme akan menjamin keberlangsungan Indonesia, sebagai bangsa paling pluralis di dunia. Sebagai negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia, dengan 17.000 pulau lebih, 400 kelompok etnis,[176] dan 600 bahasa dan dialek[177] yang berbeda-beda, menempatkan Indonesia sebagai negara dengan kebudayaan yang sangat beragam. Keragaman bukan saja pada sosial, budaya, etnik, bahasa, tetapi juga keragaman dalam agama dan keyakinan. Islam, Kristen, Protestan, Katolik, Hindu dan Budha, juga ditemui beragam kelompok-kelompok kecil penganut animisme dan dinamisme. Kemajemukan di atas harus difahami sebagai kekayaan bangsa dan dipelihara dalam pengembangan dan pembangunan nasional. Menginkari kebenaran akan kemajukan, hanya akan mengantarkan pada pandangan sempit, ekskusif, intoleran, dan menggiring pada konflik sosial yang berkepanjangan. Bentuk penginkaran ini muncul sebagaimana konflik yang terjadi dalam kasus Poso, Ambon, Maluku, dan juga sejumlah daerah di pulau Jawa dan Kalimantan.
Toleransi dan pluralisme agama, meskipun nilai baru sebagai produk mordernitas, namun menurut Bernard Lewis, bagi agama-agama merupakan kebajikan, sebaliknya intoleransi adalah kejahatan.[178] Toleransi akan menjadi daya perekat dalam membangun integrasi yang harmonis, bertitik tolak pada keseimbangan, dan pandangan positif atas orang lain dan perbedaan. Pluralisme agama menurut Michael Peterson adalah pandangan, dimana semua agama itu dipandang mengajarkan prinsip yang sama, yaitu kebaikan. Meskipun sistem berbeda-beda.[179] Pandangan pluralisme agama bisa diartikan suatu faham atau anggapan yang menyatakan bahwa semua agama itu sah, valid, dan benar, karena berangkat dari tradisi keimanan atau keyakinan. Sementara John Hick[180] tokoh pluralis Kristen, meyakini bahwa berbagai keimanan (agama) di dunia ini meskipun memiliki pandangan berbeda-beda tentang ultimate reality (Tuhan), namun pada hakekatnya akan sama-sama menuju keselamatan, kendatipun dengan jalan yang berbeda-beda, agama yang berbeda-beda. Pluralisme dapat dilihat dari faham umum yang menganut pola hidup terbuka pada kemajemukan, sebagai sunnatullah yang tidak perlu dipaksakan seragam.[181]
Dalam interaksi antar umat beragama yang majemuk di Indonesia, sepantasnya jika pandangan pluralisme agama, dikampanyekan sebagai instrumen membangun harmoni antar pemeluk agama (interreligious harmony). Membangun harmoni antar pemeluk agama yang sama, dan penganut agama yang berbeda-beda. Pandangan agama seseorang akan mempengaruhi cara pandang dirinya (world view), berkait dengan diri dengan orang lain (the other). Inti agama, sebagaimana disebut Toshihiko Izutsu,[182] adalah kepercayaan atau keyakinan. Meskipun kemudian diakui Izutsu, bahwa kepercayaan pada hakekatnya adalah fenomena eksistensi personal. Dalam pengertian ini, kepercayaan sebagaimana digambarkan oleh konsep teologi sekalipun, dengan cara yang sangat khusus, adalah sifat nyata dari kepercayaan sebagaimana keadaan yang sesungguhnya, yaitu sesuatu yang secara aktual hidup dan dialami dalam sejarah seseorang. Agama adalah apa yang nampak pada seseorang. Dengan kata lain, respon dan sikap pemeluk agama terhadap penganut agama lain yang berbeda dalam kontek seperti ini, agama muncul sebagai realitas sosial, sebagaimana diistilahkan oleh Peter L. Berger.[183]
Pandangan pluralisme agama dapat dijadikan instrumen untuk mengakhiri kekerasan agama yang dipicu oleh perbedaan interpretasi, pandangan agama yang eksklusif, dan sikap anti perbadaan. Kasus kekerasan agama ditingkat lokal akibat distorsi pemahaman agama ini menimpa kelompok minoritas agama, Jama’ah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Manis Lor di Kabupaten Kuningan.
Jama’ah Ahmadiyah Indonesia (JAI) adalah organisasi yang meyakini agama Islam, menyembah Allah yang Esa, menyebut Nabi Muhammad dalam syahadat, menggunakan al-Qur’an sebagai kitab suci dengan shalat lima waktu yang sama menghadap kiblat, sebagaimana umat Islam yang lain.[184] Namun ada hal-hal yang selama ini menjadi perbedaan, dan tidak sempat didialogkan terkait dengan tuduhan megakui nabi lain selain Nabi Muhammad, memiliki kitab lain selain al-Qur’an. Akibatnya, muncul klaim sesat, aliran menyimpang yang harus dibubarkan di kabupaten Kuningan. Munculnya diskriminasi dan kekerasan ini dipicu oleh vonis Surat Keputusan Bersama (SKB) antar Instansi agama dan ormas-ormas Islam, tertanggal 3 November 2002 tentang pelarangan jama’ah Ahmadiyah di kabupaten Kuningan. Menguatnya tekanan pembubaran kelompok minoritas ini juga didorong oleh keluarnya surat edaran MUI kabupaten Kuningan nomor 13/MUI/kab/11/2003 tentang JAI sebagai aliran menyimpang.[185]
Perbedaan penafsiran, dengan kegiatan keagamaan yang dianggap lain, misalnya ekslusif, diklaim sebagai mengerjakan agama yang dianggap menyimpang atau terjadi penyelewengan ajaran agama yang pokok. Tidak kurang 38 rumah pengikut JAI dirusak dan mesjid dibakar pada 2002.[186] Intimidasi, ancaman dan diskriminasi pada kelompok minoritas berlangsung berlarut-larut sampai saat ini, bahkan pada 20 Oktober 2004, drama kekerasan atas dasar agama kembali menteror golongan minoritas yang dianggap sesat ini. Setidaknya 2 musholah (at-Taqwa dan al-Hidayah) dibakar, pada saat jamaah JAI ini melakukan sholat tarawih dan tadarus al-Qur’an. Kekerasan ini dilakukan oleh kelompok non Ahmadi yang selama ini melakukan teror sebagai tindakan teror karena dianggap melanggar surat keputusan bersama (SKB) yaitu menggunakan masjid dan musholah untuk kegiatan ibadah. Hak-hak sebagai warga negara juga tidak dinikmati sepenuhnya, seperti tekanan pengawas aliran kepercayaan masyarakat (Pakem) tanggal 23 Desember 2002 yang berisi perintah terhadap Polres Kuningan, Depag Kuningan dan Camat Jalaksana untuk menyelidiki PNS dari Ahmadiyah melarang membuatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan melarang menikahkan orang Ahmadiyah.
Diskriminasi dan kekerasan pada JAI, ini jelas menciderai kohesivitas masyarakat Kuningan. Dari 1.044.000 penduduk kabupaten Kuningan terdapat 6 agama dan beragam penganut aliran kepercayaan. Data terkahir dari wawancara “Working Group Anti Diskriminasi” dengan Yusron Kholid (Depag) tercatat di Departemen Agama Kuningan 341 agama dan aliran. Ini tentu pluraitas agama yang mesti dipelihara sebagai keragaman Kuningan.
Diskriminasi terhadap 3000 pengikut JAI Manis Lor, akan dapat memicu kekerasan serupa pada penganut keyakinan atau kepercayaan yang besar tersebut. Penelitian ini akan menjadi momentum yang tepat dalam mengusung pluralisme agama di Kuningan dan Indonesia secara umum.
Pluralisme tidak dapat difahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai agama, suku, ras dan sebagainya, sehingga justru mengesankan fragmentasi, bukan pluralisme. Menurut Rumadi[187] pluralisme harus difahami sebagai pertalian sejati dari berbagai macam keragaman dalam ikatan-ikatan rasional yang berperadaban. Bahkan pluralisme juga harus dipandang sebagai keniscayaan untuk keselamatan manusia dengan mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkan.
Munculnya diskriminasi di atas, tentu merupakan masalah besar khususnya penciptaan masyarakat yang kohesisif, integral tanpa terpecah-pecah oleh sekat etnis, agama, suku, ras, politik, kepercayaan dan sebagainya. Semua aspek yang berkait dengan munculnya diskriminasi dan kekerasan agama, akan menjadi persoalan yang luas, karena di Kuningan gejala seperti itu bukan hal yang baru. Kasus pembubaran el-Sakani Caracas, diskriminasi Penghayat Cigugur, dan kekerasan pada Ahmadiyah merupakan praktek telanjang kekerasan pada minoritas yang masih berlangsung sampai hari ini.
Melihat luasnya wilayah kajian yang demikian luas, penelitian ini hanya difokuskan pada kasus diskriminasi Jama’ah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Manis Lor Kabupaten Kuningan. Masalah diarahkan pada fokus persoalan yang berkait dengan eksistensi Jama’ah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Manis Lor, pandangan keagamaan, jaringan dan pandangan masyarakat terhadap keberadaan JAI, akar-akar diskriminasi, kronologi, dan solusi dan harapan-harapan masyarakat.
Secara rinci permasalahan dalam penelitian ini diantaranya difokuskan pada:
1. Faktor apa yang melatarbelakangi munculnya diskriminasi pada Jama’ah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Manis Lor?
2. Bagaimana pandangan keagamaan program-program dan jaringan kerja jama’ah Ahmadiyah Kuningan?
3. Bagaimana jawaban Ahmadiyah terhadap tuduhan sesat dari kelompok non Ahmadiyah?
4. Bagaimana kronologi kekerasasn pada minoritas Ahmadiyah ini? Kapan dan dalam bentuk apa saja?
5. Bagaimana pandangan masyarakat memandang kekerasan pada Ahmadiyah ini?
6. Apa harapan-harapan masyarakat untuk mengakiri konflik dan diskriminasi agama?
7. Bagaimana pandangan ormas Islam, tokoh agama, dan masyarakat non Ahmadiyah terhadap pengikut Ahmadiyah?
8. Adakah mata rantai diskriminasi agama dengan bias kepentingan politik kekuasaan elit politik?
9. Bagaimanakah solusi terbaik untuk mengakhiri pada kelompok minoritas seperti JAI ini?
Sebagaimana telah dirumuskan dalam permasalahan, tujuan kajian ini dapat dirinci sebagai berikut:
1. Mengungkapkan faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya diskriminasi pada Jama’ah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Manis Lor di Kuningan.
2. Mendiskripsikan pandangan keagamaan, program-program, dan jaringan organisasi JAI Manis Lor Kuningan.
3. Mengungkapkan kronologi diskriminasi dan bentuk kekerasan yang terjadi atau menimpa JAI Manis Lor Kuningan.
4. Mengkomunikasikan jawaban keagamaan JAI atas klaim sesat dari non Ahmadiyah.
5. Mengungkapkan pandangan keagamaan dari tokoh-tokoh agama, ormas Islam non Ahmadiyah.
6. Mengungkapkan harapan-harapan masyarakat pada kasus kekerasan dan diskriminasi.
7. Mencari justifikasi apakah pluralisme agama dapat menjadi alternatif dalam menyelesaikan atau meminimalisir krisis akibat perbedaan intepretasi agama.
8. Merumuskan alternatif-alternatif lain yang ditawarkan masyarakat berkait dengan diskriminasi agama.
9. Merumuskan solusi terbaik berkait dengan diskriminasi kelompok minoritas agama.
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan yang berarti bagi tumbuhnya komunikasi antar penganut agama dan kepercayaan sehingga dapat menghindarkan terjadinya konflik antar agama. Secara lebih khusus penelitian ini dapa memberikan pemikiran mengenai:
1. Memberikan gambaran secara komprehensip eksistensi Jama’ah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Manis Lor, pandangan keagamaan, program dan jaringan organisasinya.
2. Memberikan masukan, baik ke lembaga pemerintah, organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan, lembaga pendidikan dan lainnya tentang gambaran riil, obyektif, tanpa memihak, keberadaan JAI Manis Lor.
3. Merekam data dan kasus-kasus kekerasan atas kelompok minoritas agama secara obyektif.
4. Memberikan masukan atau solusi kepada masyarakat banyak dalam upaya meminimalisasi terjadinya kekerasan dan diskriminasi atas kelompok minoritas.
Penelitian ini berangkat dari berbagai pemikiran para tokoh yang sudah dipublikasikan di berbagai media dan juga nara sumber yang langsung berkaitan dengan objek penelitian khusunya yang berhubungan dengan diskriminasi dan kekerasan pada kelompok minoritas.
Diskriminasi Ahmadiyah adalah problem serius keagamaan yang dapat mengganggu hubungan antar penganut agama. Diskriminasi menjadi hambatan di masyarakat, karena dalam diskriminasi mengindikasikan adanya penindasan, peminggiran dan ketidak adilan. Karena itu, setiap tafsir atas agama sebisanya menghindari penafsiran yang diskriminatif.[188]
Sebagai agama mayoritas di Indonesia, menurut Zahlani Zain,[189] Islam harus menjadi parameter penentu terciptanya keberlangsungan hubungan mayoritas-minoritas yang harmonis, terutama dalam memberikan perlindungan terhadap kelompok minoritas, baik minoritas agama, maupun etnis. Dalam hal ini Islam dihadapkan pada peluang dan tantangan yang cukup berat dalam kontek masyarakat majemuk Indonesia. Tantangan sejauh mana Islam dapat mempelopori terbangunnya hubungan yang harmonis dan tidak diskriminatif.
Munculnya praktik diskriminatif, ditengarai Very Verdiansyah[190] banyak menciptakan ketidaknyamanan. Menurutnya, ada banyak faktor mengapa hubungan antar mayoritas dan minoritas sering ditampilkan dalam corak diskriminatif, sehingga dalam banyak hal merugikan kalangan minoritas. Salah satunya adalah adanya klaim kebenaran [truth claim] yang tidak disertai kedewasaan ekspresi keagamaan. Menurut Very, beberapa sikap keberagamaan seperti absolutisme adalah kesombongan intelektual, eklusivisme adalah kesombongan sosial, fanatisme adalah kesombongan emosional, ekstrimisme adalah berlebih-lebihan dalam bersikap, dan agresifisme adalah berlebih-lebihan dalam melakukan tindakan fisik. Tiga penyakit pertama merupakan representasi dari kesombongan [‘ujub], dan tiga penyakit yang terakhir adalah representasi sikap berlebih-lebihan [tatharruf].
Diskriminasi hubungan mayoritas-minoritas agama sebagaimana Ahmadiyah dan terutama etnis yang sering muncul ke permukaan, lebih banyak berkait dengan konflik kepentingan yang dikemas dengan simbol-simbol agama. Boleh jadi kesenjangannya adalah ekonomi [kesejahteraan], perbedaan kepentingan politik maupun perbedaan etnis itu sendiri. Akhirnya konsep kebenaran dan kebaikan yang berakar dari agama dipelintir menjadi alasan pembenaran atas penindasan kemanusiaan. Islam sama sekali tidak membenarkan tindakan penindasan atas nama agama. Karena tindakan tersebut jelas-jelas bertentangan dengan nilai-nilai luhur Islam itu sendiri, sebab Islam mengajarkan kedamaian yang seringkali dicitrakan sebagai rahmat semesta alam [rahmat lil alamin]. Segala tindakan dinyatakan benar atau salah dilihat dari tujuannya. Namun, tidak semua tujuan baik dapat membenarkan segala tindakan.
Kekerasan atas alasan agama bertentangan dengan fitrah agama yang membawa keselamatan agama, yang seharusnya menjadi nilai-nilai universal sebagai dasar untuk bersikap dan berperilaku [basic principle of life], belum sepenuhnya difahami secara utuh. Agama masih dibaca secara sefihak, yang justru melahirkan cara pandang yang eklusif, fanatisme berlebihan yang cenderung diskriminatif. Agama dalam posisi ini cenderung dipolitisir, dimanipulasi, sehingga kehilangan prinsip penghargaan pada kemanusiaan, kerahmatan, kebijaksanaan dan anti perbedaan.[191] Padahal perbedaan adalah pintu utama [maingate] untuk saling melengkapi, saling mengisi, saling belajar satu sama lain, sehingga manusia memiliki martabat, kemuliaan dan peningkatan subyektifitas diri pada pergaulan pada sesama.
Fitrah manusia adalah berbeda-beda. Pemaksaan pada penyeragaman berarti melawan fitrah keperciptaan manusia. Termasuk keragaman ini adalah berkait intepretasi keyakinan dan agama. Tuhan sendiri yang menghendaki manusia itu harus seragam [wa lau sâ’a Allah laja’alakum ummatan wâhidatan],[192] tetapi justru diciptakan dalam keragaman sebagai tanda-tanda kebesaran Allah untuk umatnya agar mau berfikir [wa min âyatiħi khalq as-samâwâti wal alrdh wakhtilâf al-sinatikum wa al-wânikum]. Keragaman hanyalah sebagai ujian terhadap apa yang datang pada manusia.[193] Keseragaman adalah kebekuan, bahkan disebut nabi akan menggiring pada kehancuran, sebab keseragaman memuat statisme, kontra produktif dan musuh dari dinamisme [lâ yazal an-nâs fi khair mâ tabayyanû wa in tasawwû halaqû]. Manusia memiliki banyak identitas, baik yang berkait dengan suku, agama, ras, golongan, maupun status sosial. Identitas-identitas tersebut merupakan sesuatu yang given, dan sebagian yang lain merupakan konstruk sosiologis. Karena itu, menurut Budi Munawar Rahman[194] pluralisme sebagai realitas sosial, merupakan sunnatullah yang tak mungkin dapat ditolak oleh siapapun. Menolak kenyataan pluralisme sama dengan menolak sunatullah. Sebagai sunatullah, pluralisme sengaja didesain Tuhan untuk dinamika kehidupan manusia.
Radikalisme yang memaksakan umat harus satu, disebut Zainuddin Fananie dkk.,[195] sebagai kekerasan agama. Biasanya dipicu oleh keyakinan, perbedaan kepentingan ajaran, hubungan personal dan masyarakat. Kecenderungan umum dari radikalisme, memaksakan umat harus satu, yang tak sejalan dianggap musuh, kafir, menyimpang atau sesat adalah sikap berlebihan yang merebut hak Tuhan pemilik kebenaran. Manusia tak dapat memaksakan suatu kebenaran, keyakinan pada orang lain. Kebenaran itu merupakan otoritas Tuhan. Manusia sangat terbatas dalam membaca dan menangkap kebenaran dari teks-teks keagamaan. Ia dibatasi oleh kecerdasan [keterbatasan akal], latar belakang sosial budaya, keadaan pisik, lingkungan, sumber bacaan dan pemahaman. Bahkan pengaruh politik yang melingkupinya. Manusia dapat mensosialisasikan, menyampaikan, tetapi bukan memaksakan. Pembakaran dan kekerasan pada kelompok minoritas yang dianggap menyimpang, merupakan bentuk arogansi, sekaligus ketidaksiapan menerima keragaman.
Tak dapat dipungkiri, konflik antar umat selalu mewarnai gelombang sejarah manusia dalam radius kewilayahan manapun[196] merupakan implikasi langsung dari klaim kebenaran praksis normative agama. Menurut Aliya Harb[197] dalam mengentaskan diametrik nisbi itu, sangat memerlukan pembumian makna kebenaran agama yang bernuansa toleran, inklusif, akomodatif, egaliter dan apresiatif. Pemahaman pada lingkaran pluralisme kebenaran agama, secara langsung dituntut untuk memiliki landasan interaksi sosial yang mengutamakan keterbukaan teologis, sehingga klaim-klaim kebenaran dan keselamatan antar agama, antar pemeluk, penganut suatu keyakinan tidak terluapkan secara frontal sebagai konflik.
Membangun pandangan agama pluralis,[198] penting untuk mengakhiri kekerasan atas nama agama. Teologi pluralis dianggap memiliki dimensi pembebasan dan tujuan ideologi untuk kepentingan sosial yang mencerahkan.[199] Dengan demikian umat agama akan lebih berpeluang dalam menghadirkan peran sposial agamanya. Sebab menurut Ahmad Fuad Fanani[200] esensi kebenaran sebuah agama sejatinya terletak pada jawaban atas problem kemanusiaan. Sebab sesungguhnya sejak awal, agama memiliki misi suci untuk menyelamatkan dan menuntun manusia menuju jalan hidup yang benar.
Latar belakang budaya dan agama yang beragam, menurut Robert W. Hefner[201] di Indonesia, Islam dapat mengakomodasi tantangan pluralitas, yang merupakan sisi lain dari modernitas. Untuk itu cara pandang keagamaan harus mencerminkan pada usaha menghargai perbedaan. Dalam bahasa Bahtiar Effendi, optimisme pada pluralisme agama, akan mendorong kesadaran dan sikap hidup yang lebih toleran dan terbuka terhadap pluralitas agama di Indonesia. Untuk mencapai tujuan ini membutuhan religious literacy yang dimaksudkan Aloys Budi Purnomo,[202] dengan sikap terbuka terhadap dan mengenal nilai-nilai agama lain. Singkatnya religious literacy adalah sikap melek agama lain. Dengan melek agama lain orang bisa saling mengenal, saling menghormati, menghargai dan saling mengembangkan dan memperkaya “kehidupan” dalam sebuah persaudaraan sejati antar umat beragama, apapun agamanya. Sikap melek agama ini pada gilirannya dapat membuat setiap umat beragama yakin, sadar akan identitas keagamaan dan keimanannya dalam semangat keterbukaan. Penghargaan dan penghormatan agama orang lain sebagaimana dijamin negara dalam UUD 1945 pasal 29 dan dijamin oleh Deklarasai Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) tentang kebebasan agama.
Pluralisme agama diharapkan dapat meredam munculnya kekerasan agama yang disebut Mamoon al-Rasyid[203] bersumber dari rasa keberceraian (sense sparateness). Keberceraian antar individu, sekte, komunitas dan bangsa. Keberceraian akan menggiring pada pertentangan, di mana puncaknya akan sampai benturan kepentingan yang rawan persaingan dan konflik. Keberceraian biasanya akan berakhir dengan disharmoni dan kecewaan.
Di tengah kebangkitan global kererasan agama,[204] wacana perdamaian, persaudaraan akan membawa warna kesejukan. Tentu mencapai kondisi seperti ini, sebagaimana disebut Mark Juergen Meyer[205] bahwa kekerasan, radikalisme, secepatnya diakhiri dan menempatkan peran sentral agama bagi tegaknya tatanan publik dan terpeliharanya rasa aman masyarakat. Kondisi ini akan terwujud manakala tidak mencampuradukkan agama dan politik. Jika ini terjadi, sering kali agama hanya sebagai alat dan karenanya terjadi desakralisasi. Membangun pluralisme perlu dialog secara terbuka. Istilah yang digunakan Nurkholis Madjid[206] dengan membangun dialog peradaban dan dialog keterbukaan.
Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif yang berlandaskan etnometodologi, yang biasa disebut dengan penelitian etnografik. Melalui metode ini dilakukan dengan membagi tahap-tahap kerja penelitian, yaitu: telaah awal, persiapan penelitian, terjun ke lapangan, perekaman hasil temuan, analisis dan pemaknaan. Semua tahapan di atas merupakan satu proses yang satu sama lainnya merupakan bagian yang tak terpisahkan.
Objek penelitian dipilah menjadi dua. Pertama, adalah obyek material yang berkaitan dengan dokumen, reference, liputan pers, dan kegiatan yang dilakukan Jama’ah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Manis Lor Kuningan (program kerja). Kedua, adalah pelaku atau anggota Jama’ah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Manis Lor dan masyarakat yang selama ini diprediksi mengetahui keadaan JAI tersebut. Seperti masyarakat sekitar dimana JAI berada. Identifikasi terhadap obyek ini didasarkan pada status, kedudukan, keanggotaan, keterlibatan, dan pemahaman terhadap JAI.
Pengumpulan data dilakukan dengan pengumpulan dokumentasi material dengan teknik catat, rekam, dan simak. Semua dokumen yang masuk kemudian dikelompokkan berdasar kategori permasalahan atau fokus kajian. Disamping itu, pengambilan data dilakukan dengan wawancara. Responden yang diwawancarai adalah mereka yang diidentifikasi sebagai obyek kedua dan dipandang memiliki keterlibatan yang intens (anggota atau pengurus) dengan setiap persoalan dan masalah yang dihadapi JAI.
Adapun awancara dilakukan dengan cara unstucture interview, maksudnya peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara bebas tanpa terikat pada pertanyaan tertulis. Keadaan ini diamksudkan agar wawancara dapat berlangsung luwes dengan arah yang lebih terbuka. Dengan demikian, akan diperoleh data yang lebih kaya dan bervariasi dan pembicaraan tidak akan terpaku pada draf yang telah disiapkan. Namun, secara garis besar materi wawancara yang dikembangkan akan difokuskan pada persoalan-persoalan eksistensi JAI Manis Lor, program kerja, jaringan organisasi. Di samping itu dikembangkan persoalan yang berkait dengan interpretasi ajaran, dan persoalan-persoalan yang dihadapi (diskriminasi dan kekerasan) dan dampak yang menyertainya secara sosiokultural-politis. Selain model wawancara terbuka, pengembangan wawancara dilakukan dengan model snowball, yaitu pengembangan responden berdasar informasi dari responden yang telah diwawancarai. Karena obyek penelitian ini para pelaku, kemungkinan-kemungkinan terjadi distorsi data sangat besar. Untuk mengeliminasi ketidaksahihan data yang masuk maka akan dilakukan kritik dengan cara crossing data. Sehingga akurasi dapat dicapai. Untuk menunjang kelengkapan data, juga dilakukan kajian dokumen, baik penelitian yang sudah ada yang dipandang relevan atau sumber-sumber lain yang dapat dieksplorasi sebagai sumber data.
Analisis dilakukan dengan model deskriptif kulitatif. Maksudnya, data-data yang diperoleh di lapangan terlebih dahulu dikelompokan berdasar kualitas dan kategorinya. Kategori data dikelompokan menjadi berapa bagian (1) data yang berkait dengan eksistensi dan program JAI Manis Lor Kuningan, (2) data yang berkait dengan pandangan atau aspirasi masyarakat terhadap JAI Manis Lor, (3) data yang berkaitan dengan kasus-kasus yang muncul, (4) data yang berkait dengan harapan masyarakat terhadap konflik dan kekrasan minoritas, (5) data yang berhubungan dengan implikasi psikologis, sosiologis dan politis, berkait JAI dan masyarakat. Data yang sudah dikategorikan kemudian diinterpretasikan dengan model interpretasi surface structure maupun deep stucture. Interpretasi surface structure adalah interpretasi teks dan fakta, dalam hal ini pemaknaan terlebih dahulu difokuskan pada persoalan yang tertuang dalam teks atau realitas yang muncul, dari interpretasi ini kemudian dikembangkan kepada interpretasi deep structure, yaitu interpretasi yang mengungkap makna-makna tersirat di balik aktivitas yang dilakukan atau respon masyarakatnya. Dari analisis yang dilakukan diharapkan akan diketahui bagaimana realitas sebenarnya keberadaan JAI Manis Lor dalam menyiasati perbedaan, perubahan, hubungan masyarakat. Dari analisa diharapkan dapat dirumuskan beberapa solusi persoalan berkait kekerasan dan diskriminasi JAI Manis Lor. Hasil analisis dan rumusan solusi kemudian disusun secara sistematis dalam bentuk laporan dengan model deskriptif.

A. Temuan Lapangan
Ahmadiyah sebagai kelompok minoritas di kabupaten Kuningan, merupakan entitas masyarakat yang sekarang ini mengalami tekanan psikologis yang paling berat. Sebagai bagian dari masyarakat Kuningan yang ikut membayar pajak, komunitas yang berbasis di desa Manis Lor ini, sepertinya tersingkir dari percaturan kehidupan masyarakat Kuningan. Ahmadiyah tak memperoleh perlindungan yang memadai sebagai hak warga bangsa yang telah membiayai anggaran negara. Malah gejala yang muncul, pemerintah Kuningan, sebaliknya ikut terlibat dalam skenario pembubaran dan penyegelan kelompok jama’ah yang punya jaringan dengan komunitas Islam Internasional yang berpusat di Inggris ini. Gejala seperti ini nampak, dari sikap mendua Pemda, yang hanya mengikuti keinginan dan permintaan kelompok mayoritas, yang saat ini sedang menjadi mainstream, basis utama masyarakat Kuningan. Aparat keamanan, pemerintah daerah, Majlis Ulama, Departemen Agama, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Kejari yang menjadi representasi kekuasaan negara, malah berlawanan memusuhi dan melegitimasi keberadaan Ahmadiyah sebagai minoritas agama yang harus dibubarkan di Kuningan.
Persoalan Ahmadiyah di Kuningan saat ini bukan saja menjadi domain wilayah agama, tetapi sudah bercampur baur dengan berbagai kepentingan ekonomi, sosial, budaya, ideologi dan politik yang ikut terlibat dalam menentukan hitam putihnya Ahmadiyah di kabupaten Kuningan. Kasus-kasus yang dialami kelompok Ahmadiyah misalnya, perusakan rumah, pembakaran masjid, pemboikotan Akte Nikah, Akte Lahir dan Kartu Tanda Penduduk [KTP]. Selanjutnya, teror, intimidasi dan penyegelan aset jama’ah,[207] merupakan sublimasi dari beragam masalah yang ikut terlibat dalam kasus Ahmadiyah ini.
Dari beragam diskriminasi dan kekerasan kelompok minoritas yang memiliki sistem khilafah dan seorang pemimpin rohani ini, setidaknya dapat dianalisa dari beragam sudut pandang. Diantaranya ialah:
A.1. Masalah yang berkait Perbedaan Intepretasi Tafsir Agama
Masalah perbedaan pemahaman teks agama dan tafsir keagaman merupakan faktor utama yang menimbulkan penyesatan dan kekerasan pada jama’ah Ahmadiyah di Manis Lor. Perbedaan berkait tafsir keagamaan, ini misalnya dapat dilihat dari perbedaan pemahaman konsep wahyu, jumlah nabi, tempat ibadah haji, makmum pada imam lain non Ahmadiyah, pernikahan wanita Ahmadiyah pada non Ahmadiyah, sampai perbedaan berkait konsep kenabian [lihat bab III B]. Hal yang paling menonjol adalah berkait konsep Nabi ini. Ahmadiyah mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai Isa al-Masih yang diturunkan ke dua kalinya ke dunia, sebagaimana banyak disebut dalam al-Qur’an dan Sunnah. Pengakuan sebagai nabi yang diutus Tuhan ini dianggap menyimpang dari Islam. Perbedaan persepsi ini berkembang meluas, sementara komunikasi terhambat. H. Didi Rasidi, dari Departemen Agama Kuningan menganggap Ahmadiyah sudah keluar dari Islam, karena mengakui nabi setelah nabi Muhammad. Menurutnya, ”Dalam Islam nabi terakhir itu, ya nabi Muhammad, tak ada nabi lagi setelah dia, Ahmadiyah menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi”. Sementara menurut H. Dudung Mz., Mu’alim Ahmadiyah Manis Lor, mengatakan ”Ahmadiyah memandang nabi dalam pengertian umum [nubuwwah al’âmmah, ghairu tasyriy]’, yang tidak membawa syariat baru [an-nubuwwah at-tasy’ri’iyyat], meskipun memperoleh wahyu hakiki. Syariat yang diajarkan tetap syariat yang dibawa oleh nabi Muhammad. ”Ahmadiyah mengakui nabi yang dijanjikan, dan itu sudah diyakini datang, yaitu Mirza Ghulam Ahmad”, tambahnya.[208]
Miskomunikasi dan ketegangan ini berlarut-larut, sampai akhirnya terbit fatwa MUI Kuningan nomor 86/MUI-KFH/X/2004 tentang penyimpangan ajaran Ahmadiyah, dan Surat Keputusan Bersama [SKB] antara Muspida, pimpinan DPRD, MUI dan ormas Islam, tertanggal 3 Nopember 2003 tentang pelarangan jama’ah Ahmadiyah di kabupaten Kuningan. Kebebasan Ahmadiyah otomatis jadi terganggu, tak dapat melaksanakan kegiatan ibadah, akibat fatwa dan SKB ini. Tuntutan pembubaran semakin memuncak, dan buntutnya sampai perusakan 38 rumah milik pengikut jama’ah Ahmadiyah, penyegelan tempat ibadah [masjid, mushola] dan tempat pendidikan, sekolah milik jama’ah ini. Pembakaran mushola dan masjid dianggap sebagai sangsi dan bentuk hukuman atas tidak diindahkannya fatwa MUI dan SKB, yang tetap menggunakan mushola/masjid sebagai tempat ibadah. Pengakuan Nana dari Gerakan Anti Maksiyat [Gamas] Kuningan,[209] ”Ahmadiyah telah menodai ajaran pokok Islam, ia sudah menyimpang jauh dari Islam, kami meminta pada Pemerintah Daerah Kuningan memantau, memonitor, menganalisa,” sebab menurut Nana, ”Ahmadiyah telah melanggar Surat Keputusan Bersama [SKB] dengan tetap melaksanakan aktivitas mereka”.
Ketua DPD jama’ah Ahmadiyah Kuningan, Kulman Tisna Prawira menyayangkan terbitnya SKB tersebut, yang seolah-olah melegitimasi Ahmadiyah sesat. Menurutnya, ”Tak benar, kami membawa ajaran Ahmadiyah, karena yang dibawa Ahmadiyah dan diajarkan Ahmadiyah adalah ajaran Islam yang bersumber pada al-Qur’an, Sunnah dan Hadits”. Dalam kegiatan sehari-hari lanjutnya, ”Ahmadiyah tak pernah berbuat meresahkan. ”Kami patuh pada hukum, tak pernah membuat noda kepada pemerintah, misalnya meresahkan, mengganggu ketertiban, keamanan dan menghambat pembangunan,” kata Kulman.
Diskarmoni dan keadaan tak menentu ini terus berlanjut dengan dilarangnya memperoleh Kartu Tanda Penduduk [KTP], dilarang menikahkan Ahmadiyah, sehingga harus mencari tempat lain di luar Kuningan. Menurut H. Dudung, ”Sampai hari ini sejak keluar larangan menikahkan Ahmadiyah dari tahun 2002, sudah 150 orang Ahmadiyah yang menikah di luar Kuningan. Perbedaan tafsir keagamaan ditambah tiadanya diskusi yang memadai menjadi ganjalan dalam membangun komunikasi antara dua kelompok yang saling berhadapan ini. Situasi ini terjadi akibat adanya deviasi agama yang kehilangan peran sosialnya. Menurut Ahmad Fuad Fanany,[210] esensi kebenaran agama sejatinya terletak pada jawaban atas problem kemanusiaan. Sebab sesungguhnya sejak awal, agama memiliki misi suci untuk menyelamatkan dan mununtun menuju jalan hidup yang benar. Penyesatan, kekerasan sampai pada penyegelan, merupakan pengingkaran peran sosial agama, oleh sebab itu akhirnya terkikis menjadi puncak dari drama praktek diskriminasi di Kuningan.
A.2. Problem Bias Kepentingan Politik
Keterlibatan kepentingan politik dalam ranah agama, merupakan masalah besar yang menyeret agama dalam kondisi dilematis. Pertempuran antara dua sistem kepentingan yang melibatkan dua kelompok berbeda agama atau aliran, setidaknya telah menyebabkan penganut agama diklaim sesat. Masalah politik yang terlibat dalam masalah konflik agama, ini jelas sekali pada kasus Ahmadiyah ini. Ahmadiyah, meski minoritas di Kabupaten Kuningan, tetapi mayoritas di desa Manis Lor. Dari jumlah sekitar 4.393 jumlah penduduk Manis Lor [BPS tahun 2004] lebih dari 3000 orang lebih, adalah pengikut Ahmadiyah. Dari potensi besar ini tak aneh jika dari tahun 1954 Ahmadiyah selalu mendominasi kekuasan politik di desa. Berikut aparat yang ada di dalamnya. Dari tahun 1954, hanya sekali Manis Lor dipimpin kepala desa non Ahmadiyah. Kondisi ini memunculkan kecemburuan dari kelompok non Ahmadiyah yang menginginkan kekuasan politik di tingkat desa. Mencari dukungan atas alasan politik semata, selain susah, juga membutuhkan banyak dana. Alasan yang paling mungkin adalah melihat peluang dari sisi sara, agama, sehingga sangat mudah menggerakkan kekuatan masa, jika alasannya aliran sesat. Sesat, menyimpang menjadi isu yang dapat dijual untuk agitasi melakukan perebutan peran, memenangkan legitimasi dan image. Keterlibatan politik dalam ranah agama ini sangat berbahaya. Dalam beberapa kesempatan pertemuan jama’ah Ahmadiyah dengan pejabat daerah atau bupati Kuningan Arifin Setyamiharja, secara jujur diutarakan bahwa, ”sebenarnya bupati riskan untuk memutuskan masalah itu, tetapi desakan dari kelompok-kelompok dan ormas Islam yang memiliki suara mayoritas demikian intensifnya”. Karena menjelang Pilkada akhirnya tetap lolos SKB tersebut. Dari sini nampak bahwa dibalik pelarangan dan tuntutan pembubaran Ahmadiyah telah terjadi semacam ”mekanisme kuasa” meminjam bahasa Ahmad Baso.[211] Politisasi atas kelompok minoritas di sini, nampak dari usaha memanfaatkan kondisi yang kurang menguntungkan kelompok Ahmadiyah, untuk memperoleh dukungan suara umat Islam mayoritas mendukung bupati di Pilkada. Suara kebenaran dan komitmen demokrasi untuk melindungi setiap penganut agama, yang seharusnya dijamin negara, hilang demi alasan politik, menang dalam pilkada. Lebih baik mengubur 3000 suara Manis Lor demi memperoleh bagian besar dari 1.044.045 suara mayoritas umat Islam dominan. Dalam situasi ini menarik menerima usulan Juergenmeyer, untuk memisahkan agama dengan politik, untuk mengembalikan peran agama sebagai sarana menciptakan perdamaian dan basis moral dan landasan Metafisika.[212]
A.3. Perebutan Pengaruh dan Aset Ekonomi
Konflik agama, terkadang tidak sekedar berangkat dari persoalan teologi. Tetapi dalam banyak kasus, hanya merupakan perwujudan dari beragam tarik menarik kepentingan ekonomi, yang kemudian mencari pembenaran melalui saluran agama. Dalam kasus diskriminasi Ahmadiyah Manis Lor Kuningan, ada nampak dari perebutan pengaruh dan sumber daya ekonomi. Di Manis Lor ditemui dua sekolah lanjutan pertama, yaitu MTs Manis Lor [Kepala sekolah dari NU] dan MTs/SMP Amal Bhakti [milik Ahmadiyah]. Kedua sekolah ini, selama ini banyak dipasok dari lulusan atau murid SD I, SD II, SD III Manis Lor. Ketakseimbangan nampak dari jumlah murid yang masuk ke MTs Manis Lor [al-Huda], karena hanya dapat menjaring dari SD I Manis Lor. Sementara SMP Amal Bhakti, dapat menjaring murid-murid dari SD II dan SD III. Ketika SMP Amal Bhakti semakin berprestasi dalam Ujian Akhir Nasional tahun 2000 dan program komputerisasi, ini menjadi awal krisis buat MTs Manis Lor, karena murid SD I banyak pula yang melanjutkan ke Amal Bhakti. Masalah ini kemudian berkembang menjadi sentimen sara, karena berubah menjadi masalah Ahmadiyah dan non Ahmadiyah. Bahkan sampai pada tuntutan untuk membubarkan dan mengaquisisi sekolah dan tanah SMP Amal Bhakti, karena milik Ahmadiyah, meski usaha ini selalu gagal.
Aspek lain, adalah perebutan pengaruh dalam masyarakat. Pada tahun 1998 maraknya reformasi telah sampai di daerah. Sebagai bagian dari program transparansi dan akuntabilitas, ada pembersihan di tingkat desa, bagi aparat yang dianggap terlibat masalah keuangan atau korupsi. Salah satu korban program ini berinisial [NSRD], yang karena dipecat sebagai kesra di desa Manis Lor, kemudian berkolaborasi dengan kepala sekolah MTs Manis Lor, melakukan perlawanan terhadap Ahmadiyah. Karena kepala desa Manis Lor, rival yang telah memecatnya adalah orang dari Ahmadiyah. Di sini kontestasi antara Ahmadiyah dan non Ahmadiyah mulai bersemi sebagai benih konflik antar penganut aliran yang berbeda. Dengan adanya argumen ini, krisis yang terjadi dengan Ahmadiyah di Manis Lor, bersinggungan dengan kepentingan ekonomi. Meminjam analisa Tamrin Amal Tamagola, gejala ini dapat disebut sebagai kontestasi perebutan strategic resources, sumber-sumber kehidupan strategis, ekonomi dan pengaruh, sebagai modal sosial untuk eksistensi.[213]
A.4. Tak Ada Ruang Dialog Publik
Tak ada ruang dialog Publik ini ikut memperparah lahirnya diskriminasi kelompok minoritas. Kondisi umum, tidak adanya ruang dialog yang dapat menjadi media mengembangkan pendapat dan pertukaran informasi menjadikan Kuningan sebagai wilayah gloomy bagi hubungan antar agama. Hal seperti ini nampak dari apa yang dituturkan oleh Abdul Karim,[214] bahwa hubungan antar agama di Kuningan pasif, dingin dan penuh kepura-puraan. Menurutnya, ”dalam hubungan antar agama sudah ada, tetapi dalam kebersamaan misalnya, keakraban dibuat-buat, tak tulus, tetap seperti ada ganjalan”. Begitu juga apa yang disampaiakan oleh Cholil Anwar,[215] pengasuh salah satu pesantren Kuningan ini mencerminkan apa yang sebenarnya terjadi di Kuningan. Berkait dengan diskusi kehidupan, dia merujuk pada kasus Nabi Muhammad, yang sangat menghargai kehidupan, termasuk anjing yang kehausan pun ditolong. Ini semata-mata karena penghargaan pada kehidupan. Namun ketika fokus diarahkan pada kasus hak hidup Ahmadiyah, sepontan dia menjawab, ”Ahmadiyah itu lain, ia sesat, dan harus diperangi”. Dan, ”Jangan sekali-kali kasih kesempatan ke Ahmadiyah, itu sama saja dengan mengakui keberadaannya” tambahnya meyakinkan. Gejala seperti ini menjadi parameter betapa ruang dialog yang seharusnya menjadi pusat klarifikasi, gagal diwujudkan. Menanggapi hubungan antar agama yang cukup pelik dan penuh konflik, menurut M. Khaerul Muqtafa,[216] membutuhkan semacam formula dialog antar agama, ini penting sebagai terapi bagi hubungan agama di Indonesia yang rapuh dan mudah terprovokasi. Menurutnya dengan dialog paling tidak dapat memahami kepercayaan, nilai-nilai, ritus, budaya dan simbul-simbul orang yang berbeda kepercayaan. Dari sini dapat menjadi bekal untuk memahami perbedaan dari orang lain sebagai cerminan kekuatan dan kelemahan diri. Untuk Mengoreksi diri bukan menyalahkan orang lain.
A.5. Bias dari Ketakutan ”the Other”
Secara psikologis, setiap manusia akan dihadapkan pada rasa ketakutan dikalahkan oleh orang lain, ”the other”. Perkembangan Ahmadiyah, yang secara sosial tumbuh besar di kuningan, dengan pengikut yang mencapai 3000 lebih, merupakan problem baru bagi masyarakat yang menganut keyakinan berbeda. Bahasa yang keluar dari Yusran Khalid[217] [Kasi Pontren Kantor Departemen Agama Kuningan] yang menggunakan argumen sosiologis ”Ahmadiyah meresahkan masyarakat” atau ”membahayakan” merupakan pertanda dari ketakutan itu. Ada semacam ancaman yang akan dibawa bila Ahmadiyah, bisa tumbuh. besar dan tumbuh menjadi organisasi agama yang besar dan berpengaruh. Khususnya bagi para agamawan yang selama ini banyak menikamati keuntungan dari posisi keagamaan yang dimiliki di daerah Kuningan. Ahmadiyah dengan demikian dianggap sebagai antologi ketakutan, pesaing bagi maenstream utama. Ahmadiyah menjadi sumber ketakutan bagi kelompok lain, apalagi jika ternyata seluruh fakta, argumen dan logika yang dikemukakan benar dan tak dapat diingkari dengan cara apapun.[218] Akhirnya takut dan munafik melihat fakta kebenaran Ahmadiyah. Ibn Arabi, menyebutkan bahwa orang yang akan menentang kebenaran al-Masih adalah para fuqaha [ulama] yang selama ini banyak diuntungkan agamanya. Jika kebenaran baru muncul ini ancaman bagi posisi dan kedudukan dia di masyarakat.[219] Sementara itu Ahmad Baso menjelaskan akar masalah diskriminasi selain pandangan tentang adanya posisi yang disebut ”mayoritas” berhadapan dengan vonis ”minoritas”, juga berkait pandangan pada ”the other”, pandangan pada agama lain, menyebabkan problem HAM kultural. Menurutnya, pandangan unik agama Islam tentang yang lain ”the other” perlu diintepretasikan dan ditransformasikan agar lebih membawa makna kedamaian, kerukunan, dan adanya toleransi antar manusia.[220]
A.6. Problem Sosial dan Bias Budaya di Masyarakat.
Kekerasan pada Ahmadiyah dapat juga dilihat dari adanya penyakit sosial yang muncul akibat krisis sosial, pengangguran, dan masyarakat yang dilanda budaya kekerasan. Ini nampak dari pelaku kekerasan Ahmadiyah, yang di depan adalah anak belasan tahun yang baru duduk di Sekolah Lanjutan Pertama, dan Menengah. Dari sisi kedewaan berfikir, masih dilematis. Apalagi menentukan kebenaran suatu kepercayaan yang masih baru ia lihat. Ketika ada agitasi, dianggap sebagai penyaluran kreativitas. Hal serupa dapat dilihat sebagai sarana menaikkan harga sebuah organisasi yang tak memiliki agenda memadai. Lihat Gibas, BOM, Rudal, Gerah atau Gamas, yang paling depan dalam kasus Ahmadiyah, semua mengesampingkan proses dialog yang melibatkan Ahmadiyah. Yang ada, adalah apa yang harus dilakukan saat ini. Demo adalah pekerjaan mulia bagi organisasi. Kekerasan pada Ahmadiyah jika tak dilakukan dengan alasan yang benar, berarti merupakan tindakan kriminalitas, dan ini mencerminkan kondisi masyarakat dan budaya yang sedang mengalami patologi sosial yang dilematis.
Argumen komparatif yang disampaikan Pemda Kuningan, bahwa, Arab Saudi, Birma, Myanmar, Malaysia, sudah melarang Ahmadiyah, oleh sebab itu di Indonesia hal serupa juga dapat dilakukan, termasuk Kuningan. Argumen yang dijadikan sandaran sebenarnya kurang mencerminkan realitas yang sedang diperjuangkan di Indonesia. Khususnya ketika negara ini berusaha memperoleh pencapaian demokrasi secara lebih baik dan kedewasaan. Negara-negara yang ditunjuk adalah negara yang problematis, berkait dengan demokrasi dan penegakan hak asasi manusia. Ini tentu menjadi argumen yang tak sejalan dengan UUD 45, Pancasila dan Deklarasi Umum Hak Asazi Manusia, DUHAM PBB. Ahmad Baso, intelektual muda NU, dengan bahasa provokatif memprotes, ”Apa hak Negara Melarang Ahmadiyah”?
A.7. Masalah Hegemoni dan Mekanisme Kuasa Mayoritas pada Minoritas.
Ketika Departemen Agama Kuningan, Majlis Ulama dan ormas Islam menyebut Ahmadiyah sebagai sesat dan menyimpang dari ajaran pokok, sebenarnya sedang terjadi proses satanisasi entitas, meminjam bahasa analisa Mark Jurgen Meyer.[221] Maksudnya, proses penciptaan musuh-musuh setaniah, merupakan proses dari bagian dari konstruksi gambaran perang kosmis, sebagai sarana untuk meredusir kekuatan lawan, dan mendeskreditkan mereka. Dengan mengecilkan dan menghinakan mereka—menjadikan sub human—, salah satu fihak sedang menegaskan keunggulan kekuatan moralnya. Dalam bahasa Ahmad Baso[222] sebagai proses yang disebut dengan narsisisme mayoritas. Dengan Argumen ini tepat apa yang disampaikan ketua MUI Kuningan ketika bertemu lawyer Ahmadiyah, Munassir Siddiq SH, dengan pimpinan DPRD Kuningan dengan mengatakan, ”Apa berani taxi melawan kereta api? Dengan cara ini MUI dan kelompok Islam dominan sedang melakukan proses delegitimasi, sebagaimana digambarkan oleh Spinzak.[223] Dia mengedentifikasikan tiga rangkaian tahapan langkah progresif yang dimaksud untuk mendeskreditkan lawan, merendahkan mereka, dan meredusir kekuatan mereka. Dalam kasus Ahmadiyah bisa dilihat dari pemasangan 12 spanduk ”Awas Ahmadiyah Aliran Sesat”, sebagai tahapan awal melibatkan sebuah krisis kepercayaan [crisis of confidence], menyangkut otoritas suatu komunitas, kemudian konflik legitimasi [conflict of legitimacy] yang di dalamnya kelompok yang menantang ”siap untuk mempertanyakan legitimasi dari seluruh sistem” sampai munculnya fatwa sesat Ahmadiyah dari MUI, dan Surat Keputusan Bersama [SKB] antara Muspida, MUI, Pimpinan DPRD dan ormas Islam, sebagai krisis legitimasi secara penuh. Dalam kondisi seperti ini Ahmadiyah tercemar masuk dalam lingkungan musuh-musuh yang jahat, menjadi species-species sub human berhadapan dengan kelompok yang siap melakukan kekerasan tanpa berpikir dua kali.
A.8. Hilangnya Solidaritas Masyarakat
Hilangnya solidaritas antar masyarakat ini nampak dari mulai susutnya relasi sosial di daerah ini. Dari berita yang berhasil dihimpun penulis dari berbagai sumber, baik tokoh atau media, Pikiran Rakyat, Mitra Dialog dan Media Versus atau Lampu Merah, pelaku kekerasan dan perusakan rumah-rumah jama’ah Ahmadiyah berasal dari luar Manis. Hal ini terlihat dari belasan dan puluhan orang bertopeng yang menggunakan kendaraan mini bus sebagai alat angkot gengnya. Dari sini nampak pelaku datang dari luar Manis Lor. Kejadian yang sering berulang ini tak dapat dibendung karena relasi dan solidaritas masyarakat yang tumpul, sehingga tak ada keberanian untuk melawan, atau mencegah.
Gejala seperti ini menyulitkan untuk mengorganisasi masyarakat melawan diskriminasi. Menurut Enceng Shobirin Nadj.[224] Dari LP3ES, strategi yang dapat dilakukan untuk membendung segregasi sosial dan isolasi, seperti yang dialami minoritas dapat dilakukan dengan melenyapkan instrumen-instrumen diskriminasi pada struktur negara. Selain itu, juga melalui organisasi masyarakat. Bertahannya praktek diskriminasi ini menyebabkan juga hilangnya kemampuan masyarakat untuk mengorganisasi. Hilangnya kemampuan ini membuat masyarakat terfragmentasi. Fragmentasi sosial terjadi misalnya, bahwa orang hanya mempercayai pihak-pihak yang biasa bersentuhan saja. Akhirnya, masyarakat kita hidup dalam dunia saling curiga, mengalami atomisasi. Dan individu-individu mengalami krisis kepercayaan satu sama lain. Akibat lain proses represi tersebut, adalah masyarakat sulit melakukan aliansi dan networking, karena tidak lagi memiliki apa yang disebut kapital sosial yang kini sudah terkikis. Pertama, nilai-nilai yang mengikat kebersamaan yang dipersepsi bersama. Kedua, kepercayaan [trust]. Ketiga, solidaritas. Hilangnya ketiga hal tersebut menyebabkan sulitnya membangun jaringan. Dalam kontek ini, membangun kepercayaan, solidaritas, membangun nilai-nilai bersama adalah bagian dari pengorganisasian ini. Kasus Manis, seperti halnya Cileduk [pembakaran gereja] justru dilakukan orang luar daerahnya. Jika ikatan ini kuat akan berguna untuk melakukan tindakan preventif, pengamanan kolektif mandiri.
B. Membuka Dialog Pluralisme-Emansipatoris.
Kekerasan dan diskriminasi agama yang dipicu oleh perbedaan intepretasi ajaran agama dapat menjadi bencana bagi kelompok yang minoritas, jika tak ada usaha perbaikan komunikasi. Bencana yang dialami Ahmadiyah baik di Parung [2005] atau di Kuningan [2000-2005], bukti dari kemacetan komunikasi yang berujung pada pemaksaan kehendak. Kekerasan agama yang dipicu oleh perbedaan interpretasi keyakinan agama, dapat menjadi bencana kemanusiaan. Jika motif kekerasan karena dimotivasi perbedaan agama, kasus ini dapat disebut sebagai kekerasan agama. Gejala seperti ini akan menambah kecenderungan suburnya budaya kekerasan di Indonesia.
Agama yang seharusnya menjadi nilai-nilau universal atau basic principle of life, sebagai dasar bersikap dan berperilaku, belum sepenuhnya difahami secara utuh. Agama masih dibaca secara sefihak, yang justru melahirkan cara pandang yang eksklusif, fanatisme, yang cenderung diskriminatif. Agama dalam posisi seperti ini cenderung dipolitisir, dimanipulasi, sehingga kehilangan prinsip penghargaan pada kemanusiaan, kerahmatan, kebijaksanaan dan berujung anti perbedaan. Padahal perbedaan adalah pintu utama [main gate] untuk saling melengkapi, saling mengisi, saling belajar satu sama lain, sehingga manusia dapat memiliki martabat, kemuliaan dan peningkatan subjektivitas diri dalam pergaulan sesamanya.
Fitrah manusia adalah berbeda-beda. Pemaksaan terhadap penyeragaman, berarti melawan fitrah keterciptaan. Termasuk keragaman ini juga berkait dengan intepretasi keyakinan dan agama. Tuhan sendiri tidak menghendaki manusia itu harus seragam,[225] tetapi diciptakan dalam keragaman sebagai tanda-tanda kebesaran Tuhan untuk umatnya, agar mau berfikir. Keragaman hanya ujian terhadap apa yang datang kepada manusia.[226] Keseragaman adalah kebekuan, bahkan disebut nabi Muhammad akan menggiring kepada kehancuran. Sebab, keseragaman memuat statisme, kontraproduktif, dan musuh dari dinamisme [lâ yazal an-nâs fî khair mâ tabayyanû wain tasâwû halaqû].
Radikalisme yang dilakukan FPI dan LPPI yang memaksakan umat harus sama, yang tak mau sama dianggap musuh, kafir, infidel, dan menyimpang atau sesat, adalah sikap berlebihan yang merebut hak-hak Tuhan pemilik kebenaran. Manusia tak dapat memaksakan suatu kebenaran, keyakinan, pada orang lain. Kebenaran itu merupakan otoritas Tuhan. Manusia sangat terbatas dalam membaca, menangkap kebenaran dari teks-teks keagamaan. Ia dibatasi oleh kecerdasan, keterbatasan akal, latar belakang sosial budaya, keadaan pisik, lingkungan, sumber bacaan dan pemahaman. Bahkan pengaruh politik yang melingkupinya. Manusia dapat menyampaikan pilihan, pandangan agamanya, tetapi tidak dapat memaksakan kepada orang lain. Perusakan dan intimidasi pada kelompok minoritas yang dianggap menyimpang, merupakan bentuk arogansi, sekaligus ketidak siapan menerima keragaman.
Tak dapat dipungkiri, bahwa konflik antar umat beragama yang selalu mewarnai gelombang sejarah manusia dalam radius kewilayahan manapun, merupakan implikasi langsung dari klaim-klaim kebenaran praksis normatif agama. Menurut Aliya Harb,[227] dalam mengentaskan diametrik nisbi itu, sangat memerlukan pembumian pemaknaan kebenaran agama yang bernuansa toleran, insklusif dan egaliter. Pemahaman akan hidup pada lingkaran pluralisme agama, secara langsung memiliki landasan interaksi sosial yang mengutamakan keterbukaan teologis. Sehingga klaim-klaim keselamatan dan kebenaran antar agama, antar penganut agama, tidak terletupkan secara frontal sebagai konflik.
Kekerasan atas nama agama, dapat mencederai kohesivitas masyarakat. Kasus kekerasan pada kelompok Jama’ah Ahmadiyah Indonesia [JAI] di atas, adalah kasus kekerasan agama, yang jika dibiarkan dapat berlarut-larut. Ini akan dapat menjadi pemicu kasus serupa di daerah-daerah yang sensitif di Indonesia, khususnya berkaitan dengan hubungan natar agama, ras, suku dan politik. Misalnya Ambon, Maluku, Papua, Aceh, dan juga Banjarmasin, yang selama ini menyimpan sekam [trigger], yang setiap saat dapat meletup jadi konflik dan kekerasan. Apalagi keadaan seperti ini diperparah dengan munculnya berbagai kesenjangan sosial, budaya, ekonomi, politik dan ideologi.
Kenapa manusia cenderung mengambil kekerasan? Makmoon ar-Rasyd,[228] menyatakan semua basis kekerasan pada dasarnya rasa keberceraian [sense of sparateness]. Keberceraian, baik yang terjadi antar individu, sekte, di mana puncaknya akan sampai pada benturan kepentingan yang rawan, dengan persaingan dan konflik. Untuk alasan itu, keberceraian selalu berakhir pada disharmoni dan kekecewaan. Memahami akan adanya bibit keberceraian, saatnya untuk berbicara persaudaraan. Islam sebagai agama yang mengajarkan cinta pada umatnya, dapat didesain menjadi instrumen untuk menyelamatkan kemanusiaan. Islam saatnya melihat wilayah kemanusiaan, sebagai perhatian untuk menghindari konflik atas nama agama. Menarik untuk mengusulkan religion for peace atau min al-îman ilâ al-ukhuwah, sebagai tema yang dapat ditawarkan untuk membangun kesefahaman dan pengertian antar pemeluk agama dan keyakinan yang berbeda-beda. Membangun persaudaraan kemanusiaan [ukhuwah insâniyyah], persaudaraan antar iman [interreligious understanding] sebagai warga bangsa.
Dialog ini akan melahirkan interfaith understanding, jika pemahaman akan pluralisme,multikulturalisme, keragaman dan inklusivisme menjadi kesadaran bersama. Manusia memiliki kepala yang berbeda, pemikiran yang berbeda, pemahaman yang berbeda dan pilihan yang berbeda-beda pula. Kelebihan dan keterbatasan harus dihargai. Tak penting membicarakan keburukan atau kekurangan orang lain. Tetapi, hal-hal positif lebih penting dibicarakan untuk secara bersama-sama bersinergi membangun kehidupan. Ikatan rasional atas pemahaman perbedaan ini dapat menjadi pijakan dalam membangun dialog pluralisme-partisipatoris.
Ditengah kebangkitan global kekerasan agama, sebagaimana kasus yang menimpa Ahmadiyah di atas, patut mempertimbangkan wacana agama yang bervisi kedamaian dan persaudaraan. Pilihan ini, setidaknya, akan sedikit memberi warna kesejukan. Tentu, untuk mencapai tujuan ini, sebagaimana disebut Mark Juergenmeyer,[229] mensyaratkan, bahwa kekerasan, radikalisme, secepatnya diakhiri. Saatnya menempatkan peran sentral agama bagi tegaknya tatanan publik dan terpeliharanya rasa aman masyarakat. Kondisi ini akan terwujud manakala tidak mencampuradukkan agama dengan politik. Jika itu yang terjadi, agama seringkali sebagai alat dan karenanya mengalami desakralisasi.
Mengakhiri kekerasan saatnya dibicarakan saat sekarang ini. Kasus kekerasan dan intimidasi Ahmadiyah, merupakan tindakan yang tak dapat ditorerir dari sisi apapun. Kasus seperti ini harus dihentikan. Selain karena itu merupakan penghinaan terhadap fitrah keterciptaan yang berbeda-beda, juga akan memicu lahirnya budaya kekerasan di Indonesia. Mengurangi kekerasan dan membangun dialog pluralisme-partisipatoris, merupakan kebutuhan mendesak untuk mengurangi konflik dan kekerasan agama. Untuk itu, membangun dialog, membuat media komunikasi dapat menjadi jembatan mengatasi kebuntuan.
Dialog dapat dilakukan atas kesadaran tetap berpijak pada keyakinan sendiri, dan disatu sisi menghargai pilihan keyakinan orang lain. Bahasa Masykuri Abdilah,[230] pluralisme atau istilah dia Majemukisme, harus dipersepsi sebagai penghargaan akan keragaman dan kemajemukan agama, budaya, bahasa, suku dan politik, yang berbeda, dengan tetap berpegang pada keyakinan sendiri. Dialog sebagai jembatan membangun pandangan dan sekaligus membuka kran kebuntuan komunikasi. Dalam dialog setiap peserta diharapkan dapat memahami kepercayaan, nilai-nilai, ritus dan simbul-simbul orang lain agar dapat memahami orang lain secara sungguh-sungguh. Dengan memahami orang lain maka akan dapat memahami kadar iman, kekuatan dan kelemahan sendiri. Pemahaman ini penting, dimaksudkan untuk menjadi cerminan diri dan koreksi keyakinan diri sendiri, bukan sebaliknya untuk menguasai lawan yang berbeda agama. Dengan memahami kepercayaan serta budaya orang lain diharapkan akan dapat menemukan dasar yang sama, meskipun ada perbedaan, yang dapat dijadikan landasan untuk hidup bersama di dalam masyarakat.
Dialog pluralisme-partisipatoris ini, agar dapat menghasilkan pengaruh bagi orang yang berbeda agama, paling tidak harus berangkat dari pandangan terbuka mengenai: [1] perbedaan harus dianggap sebagai rahmat Tuhan dan tak diperkenankan bagi siapapun untuk melakukan intimidasi, pemaksaan yang dimotivasi perbedaan. [2] Mengembalikan seluruh penilaian akan iman dan kebenaran kepada suara hati masing-masing pemeluk agama dan menghindari klaim kebenaran atas tafsir agama. Kebenaran biarlah menjadi otoritas Tuhan dan daripadanya perlu menghargai pilihan keyakinan orang lain. [3] Menghargai kehidupan manusia sebagai orang yang sama-sama memiliki hak untuk hidup, berkembang, berkarya dan menentukan pilihan keyakinan sesuai nuraninya. [4] Keragaman merupakan tanda kebesaran Tuhan bagi manusia agar dapat saling belajar, saling memahami dan melengkapi satu sama lain.




























[174]Radikalisme keagamaan adalah gerakan keagamaan yang berusaha merombak secara total suatu tatanan politik atau tatanan sosial yang ada dengan menggunakan kekerasan. Dalam bahasa yang agak berbeda, sebagai pertentangan secara tajam antara nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kelompok agama tertentu, dengan tatanan nilai yang berlaku, radikalisme biasanya dikonotasikan dengan kekerasan pisik, biasanya dipicu oleh keyakinan, intepretasi ajaran, hubungan personal dan kemasyarakatan. Lihat secara memadai dalam Zainuddin Fananie, dkk., Radikalisme Keagamaan dan Perubahan Sosial, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002), h. 1-5.
[175] Integrasi merupakan masalah transkultural, yaitu proses peleburan dan penggabungan semua jala-jala sistem sosial yang ada di tengah-tangah masyarakat hingga terwujudnya sentrum sebagai identitas dan pola orientasi bersama. Dalam kontek Indonesia mengikat kemajemukan ini disebut sebagai ‘integrasi nasional’. Lihat J. Garang, ”Ambivalensi Agama:Antara Dominasi dan Toleransi” dalam Agama dan Tantangan Zaman, (Jakarta: LP3ES, 1989), h. 139.
[176] Nurkholish Madjid, “Islamic Root of Modern Islamic Pluralism, the Indonesian Experience,” dalam Religiosa, volume I, (Yogyakarta: LPKUB, 1995), h. 18. Lihat pula dalam tulisan yang serupa pesannya, “Mencari Akar-Akar Islam bagi Pluralisme Modern, Pengalaman Indonesia” dalam Jalan Baru Islam, Mark R. Woodward (editor), (Bandung: Mizan, 1996). Buku ini merupakan terjemah dari Toward the New Paradigm: Recent Development in Indonesia Islamic Thought, (Ihsan Ali Fauzi, terjemah), h. 91.
[177] Tarmizi Taher, Interreligious Harmony: Indonesian Experience dalam Religiosa Volume I, (Yogyakarta: LPKUB, 1995), h. 1.
[178] Bernard Lewis, The Jews of Islam, (Pricenton: Pricenton University Press, 1997), h. 3-4.
[179] Michael Peterson, Philosophy of Religion: Selected Reading, (New York: Oxford University Press, 1996), h.63
[180] Ibid
[181] Nurcholish Madjid dkk., “Kosmopolitanisme Islam dan Terbentuknya Masyarakat Paguyuan” dalam Agama dan Dialog Peradaban, Nasir Tamara (editor), (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 43. Bandingkan dengan pandangan serupa dari Budi Munawar Rahman, Pluralisme Agama, (Jakarta: Paramadina, 2001), h.77
[182] Tosihiko Izutsi, The Consepts of Belief in Islamic Theology: A Semantical Analysis of Iman and Islam. Dalam versi Indonesia dapat ditemukan dalam terjemahan oleh Agus Fahmi Husein, Konsep Kepercayaan dan Teologi Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), h. 1.
[183] Peter L. Berger, “The Sacred Canopy”, yang dialih bahasakan Hartono dengan Langit Suci: Agama sebagai Realitas Sosial, (Jakarta: LP3ES, 1991), h.22
[184] Wawancara dengan H. Dudung, seorang Ahmadi, sebuatn pengikut JAI, 20 April 2005 jam 10.00 WIB. Lihat pula dalam, Moh. Sulhan, Tantangan Demokrasi Lokal, Kasus Diskriminasi Ahmadiyah, [Makalah Diskusi Daurah Fiqih Demokrasi Fahmina] di Pesantren Nadwatul Umah Buntet 21 Oktober 2003. Lihat pula dalam publikasi Moh. Sulhan, Kekerasan, .... h. 6. atau wawancara masalah JAI ini dalam ”RUU KUB: Pembonsaian Wacana Agama”, dalam Masolehul Ro’iyyat, edisi 03, (Cirebon: Fahmina Institute, Desember 2003), h. 11- 12.
[185]Laporan menarik menyangkut munculnya diskriminasi dan kekerasan ini bisa dilihat dalam, Ahmad Baso, ”Apa Urusannya ...”. h. 3-4. Lihat pula wawacara Working group Anti Kekerasan, dengan Pejabat Pemda Kuningan dalam, “Pemda Kuningan: Kami Mengakui Ada Diskriminasi Agama”, dalam Diaspora, edisi 3, Agustus 2003. h. 5-7.
[186] Stright News masalah ini bisa dilihat Mitra Dialog (11/2/2003), Lampu Merah (27/12/2002), Media Versus (17/12/2002) Pikiran Rakyat (13/11/2002) dan lainnya.
[187] Rumadi, Meneguhkan Makna Pluralisme, Suara Pembaharuan (28/06/02). Lihat pula tulisan Rumadi yang lain, Menuju Perdamaian Sejati dalam Beragama, Suara Pembaharuan (18/02/2002).
[188] Zuhairi Misrawi, Kerangka Metodologi Tafsir Emansipatoris, Makalah, (Jakarta: P3M, 2004), h. 5
[189] Zahlawi Zain, ”Perlindungan Hak-hak Minoritas” dalam Buletin An-Nadzar, Edisi 32/14 Nopember 2003, h.1
[190] Very Verdiansyah, op cit, h. 145
[191] Moh Sulhan, Kekerasan..., h.6 Lihat pula Moh Sulhan, “Radikalisme Islam ..., h.30-50
[192] QS., 5:48
[193] Ibid
[194] Budi Munawar Rahman, op cit, h. 16
[195] Zainuddin Fananie dkk., op cit, h. 23.
[196] Eskalasi kekerasan di Indonesia misalnya, kasus 27 Juli, amuk Banjarmasin, Situbondo, Tasikmalaya, di lokal wilayah Cirebon misalnya Haur Koneng, el-Sakani, kelompok Penghayat. Argumen anti kekerasa dapat dilihat dalam Abdulrahman Wahid, dkk; Islam Tanpa Kekerasan, Glenn D. Paige, (editor), (Yogyakarta: LkiS, 2001), h. 22.
[197] Aliya Harb, loc cit.
[198] Pluralisme dalam ranah keagamaan sejatinya dapat meliputi dua hal. Pertama, pluralisme internal, memahami adanya perbedaan dalam komunitas seagama. Kedua, pluralisme eksternal, memahami perbedaaan antar masyarakat agama, menerima yang lain (the other) dalam perbedaan agama. Lihat Zuhairi Misrawi, loc cit.
[199] Syarif Hidayatullah, loc cit.
[200] Ahmad Fuad Fanani, loc cit.
[201] Hefner W, Robert, loc cit.
[202] Aloys Budi Purnomo, loc cit.
[203] Mamoon ar-Rasyid, loc cit.
[204] Munculnya pragmentasi dan konflik dapat dipengaruhi oleh pola respon keagamaan seseorang terhadap agama. Tipologinya biasanya berkisar pada (1) ekslusifisme, (2) pluralisme, (3) inklusifisme. Secara orientasi keagamaan dan relasi agama pragmenatasi agama berupa (1) agama idiologi, (2) agama sumber etika moral, (3) agama sebagai subidiologi. Lihat Maskuri Abdillah, loc cit. Sementara W.R. Comstock melihat dengan beberapa pendekatan (1) eksklusifisme, (2) teological, (3) pluralisme, masing-masing memiliki logika, dan basis argumentasi dalam beragama berhubungan dengan perubahan sosial budaya. Lihat dalam Miclael Peterson, loc cit. Menurut persi Burhanudin Daja yaitu, bentuk (1) singkritisme, (2) reconception, (3) conversion, (4) synthesis. Lihat Burhanudin Daja, op cit,, h. 17.
[205] Mark Juergenmeyer, op cit, h. 67
[206] Nurkholish Madjid, Dialog ..., h.96. Lihat pula Nasir Tamara (Editor), loc cit.
[207] Sampai tanggal 10 Desember 2005, saat laporan ini diselesaiakan, pantauan penulis di Manis Lor masih memprihatinkan, tempat ibadah, sekolah dan masjid Ahmadiyah masih disegel, dan tak nampak ada aktivitas kegiatan di tempat-tempat itu. Kondisi yang sangat berlawanan dengan situasi sebelum terjadi kekerasan pada Jama’ah Ahmadiyah Indonesia [JAI] Kuningan di Manis Lor ini.
[208] Wawancara tanggal 12/05/2005 jam 18.30 dan tanggal 05/06/2005 jam 17.00
[209] Radar Cirebon, 27/8/2004.
[210] Ahmad Fuad Fanany, loc cit..
[211] Ahmad Baso, Islam Pasca kolonial Perselingkuhan Agama, Kolonialisme dan Liberalisme, (Bandung: Mizan, 2005), h. 10-23.
[212] Mark Juergenmeyer, op cit, h. 316.
[213] Tamrin Amal Tamagola, dalam kuliah sehari tentang Demokrasi dan politik Indonesia Kontemporer, Cirebon, Fahmina Institute, 2003.
[214] Pejabat Departemen Agama Kuningan. Wawancara tanggal 12 Mei 2005, jam 10.00 di Kantor Depag Kuningan.
[215] Wawancara di Kediaman, Pesantren Darul Ulum Karangtawang Kuningan, 2004, jam 12.00 malam.
[216] M. Khaerul Muqtafa, Reformulasi Dialog antar Agama, dalam www.suarapembaharuan.com/news/2003/03/20/ut04htm.
[217] Kasi Pondok Pesantren Kantor Departemen agama Kuningan, saat bertemu dengan ”Working Group Anti Diskriminasi” dengan Pemda Kuningan, Juni 2003.
[218] Anonim, Membangun Paradigma Baru Dialog antar Agama, www. Hamline.com, 15 Januari 2001.
[219] Ibn al-Arabi, Futuhatul Makiyah, Jilid III, Bab 336. h. 374.
[220] Team Redaksi Diaspora, Membangun Gerakan Bersama Penghapusan Diskriminasi Agama dan Kepercayaan, Diaspora, Edisi II, Juli , Vol. I. 2003. h. 3-4.
[221] Mark Juergenmeyer, op cit,. h. 244-245.
[222] Diaspora, Edisi II, Juli, Vol. 1, 2003.
[223] Ehud Sprinzak, “The Process of Delegitimization: Toward a Linkage Theory of Political Terrorism” dalam Clack MC Cauley, (ed.), Terrorism and Public Policy, (London: Frank Case, 1991), h.55
[224] Enceng Shobirin Nadj, Strategi Advokasi anti Diskriminasi, Diaspora, Edisi III, Agustus, Vol. I, 2003.
[225] QS,5: 48
[226] QS,5: 8
[227] Aliya Harb, loc cit.
[228] Makmoon ar-Rasyd, op cit, h. 27
[229] Mark Juergenmeyer, op cit, h. 72
[230] Masykuri Abdillah, op cit. H. 78. Lihat pula dalam tulisan t. Penulis, loc cit

Tidak ada komentar: