Rabu, 10 September 2008

KEBIJAKAN ANGGARAN dan KONTROL PUBLIK

Moh. Sulhan


" BPD Atau Badan Perwakilan Desa, dapat disebut berhasil dalam program
dan peranannya di desa, jika Tajuk / musola makmur jama'ahnya"
[dikutip dari pengarahan Bupati Kuningan dalam pertemuan
Asosiasi BPD - LPM 2003]

Pernyataan di atas, sekilas menampakkan pesan moral yang dapat memberi kesan baik, perhatian pada kehidupan keagamanaan, religiusitas, bahkan pembelaan pada masyarakat beriman yang menjadi ciri khas pedesaan. Apalagi dalam banyak pertemuan seorang pejabat sering menyebut ayat-ayat suci Al-qur'an, dan sering berkunjung ke pesantren, semakin menambah legitimasi pada dirinya. Masyarakat dan para pemujanya tidak segan dengan memberi label "Pejabat sholeh", "Pejabar Baik", "Pejabat yang punya kepedulian pada Pesantren ".
Namun dalam konteks kekuasaan politik seperti Bupati misalnya, pantaslah ia sekedar dilihat dari sudut pandang kepandaianan menyebut ayat yang sebenarnya menjadi otoritas agamawan ? Kenapa tidak bicara tentang program kerja yang menjadi tanggung jawabnya ? Bagaimana kemiskinan dan problem pengangguran serta implikasi sosial di daerah kewenangannya ? Berapa besar anggaran belanja daerah yang di siapkan untuk kepentingan pemberdayaan rakyat ? Meminjam istilah Clifford Geetz gejala seperti ini bisa menjadi semacam kedok dari resignasi, dan bersembunyi dalam belenggu ketakberdayaan masyarakat agama, yang kemudian memunculkan religious feodalism. Pernyataan seperti itu dapat menjadi tabir, mengelak dari kenyataan riil dan menggiring masyarakat pada kehidupan spiritualitas unsich. Masyarakat digiring untuk sekedar mengurus masalah peribadatan, musholla dan masjid. Logika birokrasi seperti ini dapat berbahaya, dan mematikan kritik masyarakat, partisipasi, serta membuat jarak diametral: masyarakat hanya boleh tahu persoalan agama dan tak usah perduli pada masalah kekuasaan. Biarlah kekuasaan itu menjadi urusan pejabat. Masyarakat dininabobokan dan dilemahkan, tak punya akses sama sekali ikut terlibat dalam urusan dan pengambilan kebijakan atau keputusan. Akibatnya, ketimpangan menyolok dalam distribusi anggaran tak pernah mendapat perhatian dari khalayak, agamawan, pesantren, LSM, Akademisi dan media. Ini keberhasilan pejabat bersembunyi di belakang agama. Ciri kesantunan Sunda yang digunakan para tokoh masyarakat yang enggan melakukan perubahan "eta mah pejabat sharoleh ! naon nu bade dimasalah keun !"

Anggaran Pendidikan
Tak seorang pun yang menyangsikan, bahwa pendidikan sampai saat ini dianggap sebagai investasi SDM yang paling strategis [Strategic human resource invesment]. Namun demikian, jika kita amati secara tuntas, dunia pendidikan kita masih dirundung problem akut yang tak kunjung tuntas pembenahannya. Masalah muncul, mulai dari lemahnya kepemimpinan, minimnya dukungan dan pengelolaan kelembagaan, pelaku, sampai pada tingkat pengambilan kebijakan, yang masih memandang sebelah mata pada sektor yang satu ini.
Pendidikan kita sedang berada pada puncak krisis, meminjam istilahnya Tilaar. Praktik pendidikan, baik yang berbentuk keluarga, lembaga pendidikan masyarakat, formal atau nonformal, pada berbagai jenis dan tingkatan, umumnya tertinggal dari arus pembaharuan, meskipun ini berarti tidak membuka diri. Celakanya lagi, pada arus konsepsional, konsep pendidikan, baik yang berbentuk pragmatisme, konservatisme, progresivisme, rekonstruksionisme, atau bahkan eksistensialisme, pada dasarnya setapak lebih mundur dari gerak kemajuan.
Dewasa ini, krisis pendidikan kita ditandai dengan menurunnya kualitas. Meskipun sulit menentukan standar kualitas, tetapi indikator yang nampak, misalnya mutu pengajar yang rendah, minimnya dukungan alat-alat pengajaran, krisis kelas dalam PBM, teks, lab, dan bengkel kerja yang belum memadai, cukup menjadi barometer untuk menakar kualitas dari pendidikan kita. Wal hasil, tak terlalu mengagetkan, jika laporan UNDP 2003, mencatat indeks SDM Indonesia, melorot di bawah urutan 112, hanya lebih baik dari Vietnam.
Krisis revelansi, adalah gejala berikutnya. Ledakan pengangguran lulusan Menengah dan Tinggi, dapat dilihat sebagai ketidakberhasilan sistem, mencetak ahli dan SDM terampil dalam jumlah memadai bagi kebutuhan pembangunan. Kurikulum jalan ditempat, tak sesuai “suplay” dan “demand”. Kurikulum tak sesuai perkembangan ilmu pengtahuan, filsafat, sains dan perkembangan masyarakat itu sendiri. Bagimana mungkin pendidikan dikembangkan, membelakangi perkembangan masyarakat ? Jelas lulusan yang kerdil, tak percaya diri dan bahkan tak berwawasan global, yang menjadi taruhannya. Sungguh ironis !!
Di tengah gejala seperti ini, pendidikan juga menunjukkan adanya kecenderungan elitisme. Pendidikan cenderung menguntungkan kelompok tertentu, kelompok kecil yang mampu. Akibatnya, sulit memperoleh pemerataan dan kesempatan yang adil untuk sama-sama menikmati pendidikan yang bermutu, yang berakibat pada human development index rendah. Bahkan dalam berbagai kasus, muncul kelompok masyarakat yang tak sanggup membiayai pendidikan anak-anaknya.
Kepemimpinan dan menejemen pandidikan yang lemah, meyempurnakan masalah yang dihadapi pendidikan kita. Pendidikan sekarang ini, sebenarnya sudah menjadi industri pengembangan manusia. Seharusnya dikelola secara professional. Lemahnya dukungan kepemimpinan dan menejemen dapat menjadi masalah serius. Pengelolaan pendidikan harus dimutakhirkan. Di sini perlu terobosan; perencanaan yang matang, pengelolaan, pendanaan dan efisiensi.
Problem yang demikian kasat mata, rupanya belum menjadi perhatian kita semua. Terlebih, para pengambilan keputusan, yang tetap saja setengah hati mendukung sektor strategis ini. Meskipun amandemen UUD 45 sudah menetapkan 20 % dari total APBN, tetapi belum dapat diterapkan sepenuhnya. Kondisi serupa, terjadi di tingkat daerah, dimana perhatian pada pendidikan, juga tal terlalu menggembirakan. Anggaran pembangunan sektor pendidikan dalam APBD wilayah 3 Cirebon juga rendah. Kota Cirebon APBD 2004 dari anggaran sebesar Rp. 240.002.187.918.00, sektor pendidikan dan kebudayaan tercatat Rp. 61.582.976.800, tetapi sejumlah besar dana itu, habis untuk belanja administrasi umum sebesar Rp. 56.021.977.000. Kabupaten Kuningan pembangunan sektor pendidikan pada 2004, hanya Rp. 3.850.000.000, turun dari Rp. 8.068.300.000 pada 2003. Padahal total APBD 2004, sebesar Rp. 384.625.997.101.56. Gambaran minim juga nampak pada anggaran pendidikan Kabupaten Cirebon. Anggaran pendidikan hanya Rp. 21.803.776.498, dari total anggaran Rp. 418.118.430.687.48 [2002], ini pun harus dibagi juga untuk sektor keyakinan, kebudayaan, pemuda dan olah raga. Dengan anggaran seperti itu, apa yang dapat dilakukan untuk melakukan pembaharuan pendidikan kita ?
Semua orang tahu, pendidikan adalah modal sosial, modal politik, modal ekonomi, dan modal kebudayaan. Pendidikan adalah mata air perubahan sosial, sumber ide bagi peningkatan hidup dan makna hidup. UNDP dalam “Human Development Report” [1990], menetapkan pendidikan sebagai salah satu aspek dari proses pengembangan manusia [human development] menuju tercapainya enlarging people’s choices.

Problem Anggaran di APBD Kuningan
Problem utama yang mencuat di Kabupaten Kuningan adalah tiadanya keberpihakan distribusi anggaran untuk pembangunan publik. Ketimpangan penganggaran yang tak berpihak pada masyarakat, nampak dari distribusi anggaran dari tahun 2001 -2004. alokasi anggaran masih terkuras untuk anggaran rutin, dan minim untuk alokasi pembangunan publik. Anggaran hanya menguntungkan pihak legislatif, eksekutif, petronase, dan aparat.
Anggaran pendapatan dan belanja daerah tahun 2001 sejumlah Rp 219.640.026.000,00. Sejumlah besar ini alokasi anggaran pembangunan hanya 17,4% atau Rp 38.236.941.000,00, sementara 82,6% atau Rp 181.403.089.000,00, untuk anggaran rutin. Pada 2002, anggaran lebih timpang, dimana dari penerimaan Rp 298.586.561.065,00, sebagian besar 86,3% atau 257.599.561.065.00 terbesar untuk anggaran rutin, sedang anggaran pembangunan hanya Rp 40.986.000.000,00 atau 13,7% saja. Dari sejumlah anggaran pembangunan ini (13,7%), sektor pertanian (didalamnya perkebunan, kehutanan) hanya memperoleh 0,5% dari total APBD (Rp 1.480.000.000,00), Padahal Kuningan adalah daerah pertanian sebagai basis utama penghidupan masyarakat, sangat sulit mengangkat kesejahteraan masyarakat petani. Problem petani adalah mahalnya pupuk, obat-obatan, bibit serta usaha intensifikasi kurang berjalan baik. Bidang kesehatan pada tahun ini hanya memperoleh 0,8%, dan pendidikan 2,8% dari total APBD.
Kontrol masyarakat yang kurang, berakibat tak adanya perimbangan yang memadai antara kebutuhan masyarakat dalam penganggaran daerah, dengan kebutuhan penyelenggara negara. Pada APBD Kuningan 2003, nilai anggaran Rp 337,9 milyar, alokasi anggaran rutin sebesar Rp 297,9 milyar, sementara alokasi anggaran pembangunan Rp 76,8 milyar, pada anggaran 2004, dari hasil penerimaan sebesar Rp 383,7 milyar, terserap anggaran rutin Rp 337,7 milyar, sementara anggaran pembangunan Rp 46,2 milyar, hanya 12,5% yang berbanding 1 : 8 antara alokasi anggaran pembangunan dan biaya rutin. Sungguh anggaran yang timpang, dan tak memadai bagi pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat. Katidak seimbangan alokasi anggaran ini awalnya dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel perbandingan anggaran rutin dan pembangunan APBD Kuningan 2001-2004

Tahun Anggaran

Total

Rutin

Pembangunan

%

2001

2 19,6 M

181,5 M

38,2 M

17,4%

2002

298,5 M

257,5 M

40,9 M

13,7 %

2003

337,9 M

297,9 M

76,8 M


?
2004

383,7 M

337,7 M

46,2 M

12,5(1:8)


Alokasi sebesar 46,2 milyar pada APBD 2004, atau 12,5% anggaran pembangunan, jelas menunjukkan pengabaian terhadap prinsip keadilan. Anggaran ini tidak cukup memadai untuk usaha menciptakan pemberdayaan masyarakat Kuningan yang berjumlah 1.076.000 jiwa. Dari total penduduk ini petani adalah mayoritas kelompok sosial yang dirugikan dari distribusi anggaran ini. Perempuan, orang tua siswa, guru/ustadz, generasi muda, peternak, pengelola hutan, ustadz, santri, adalah kelompok yang juga bernasib sama, tak pernah menikmati anggaran daerah sebesar 383,7 milyar tersebut. Kehidupan sangat sulit, pekerjaan serba terbatas, harga barang tak terjangkau, putus sekolah, guru atau ustdz rendah kesejahteraan, pendapatan petani, peternak, pengelola hutan yang tak memadai. Anggaran diatas jelas hanya memanjakan pejabat-pejabat daerah.
Jika diamati secara serius, distribusi anggaran yang tak memihak pada kemaslahatan publik atau penduduk dapat diteliti dari beragam sudur pandang.

1. Kontrol dan akses masyarakat yang lemah terhadap pemerintah daerah.
Pemerintah daerah, ibarat/seperti raja yang dikurung dalam istana dan dijaga ketat oleh para bodyguard yang siap membungkam siapa saja yang mencoba mendekatinya. Kurangnya keberanian dari masyarakat dan pemerintah daerah yang tertutup, sedikit dan kurangnya partisipasi menyebabkan nyaris tanpa kontrol. Ketakberdayaan masyarakat seperti ini, dipaparkan pula oleh sikap anggaran dewan yang birokratis, dan sikap restriksi, tak terbuka dan sok berlagak seperti pejabat. Pengalaman bertemu dengan anggota dewan seperti ini nyaris terjadi di wilayah III Cirebon, (Kuningan, Cirebon, Indramayu]. Dari 8 anggota dewan yang ditemui penulis di Cirebon mereka menjawab ketus, "sory ya, ini rahasia negara, saya tak bisa kasih salinan! bahkan yang lain menjawab dengan nada menentang, "kamu digaji berapa mau mempelajari APBD? Saya yang digaji saja malas kok mempelajarinya !. Beruntung ada anggota dewan asal Malang yang kebetulan mantan aktivis kritis, berbaik hati memberi salinan APBD Cirebon. Untuk Kuningan, kebetulan ada anggota dewan yang secara emosional dan ideology dekat, tak terlalu banyak masalah. Sementara di Indramayu, legislatif, dan eksekutifhya sangat resisten untuk menjelaskan soal APBD. Ini semacam struktur feodalisme antara legislatif dan eksekutif.
Rendahnya kontrol masyarakat Kuningan pada penyelenggaraan pemerintahan berdampak makin merosotnya alokasi anggaran kebutuhan publik. APBD 2004 menunjukkan penurunan signifikan dari tahun sebelumnya. Anggaran pembangunan bidang pendidikan yang pada tahun 2003 sebesar Rp 8.068.300.000,00 dan turun drastis pada tahun 2004 hanya Rp 3.850.000.000,00 pembangunan bidang pertanian pada tahun 2003 sebesar Rp 3.423.600.000,00 juga mengalami penurunan signifikan, hanya sebesar Rp 950.000.000,00. Begitu juga anggaran untuk bidang pemberdayaan masyarakat, olah raga dan pemuda dari Rp 1.200.000.000,00 pada 2003 menjadi hanya Rp 400.000.000,00 saja pada 2004. Harga mahal yang harus dibayar, akibat kontrol masyarakat yang lemah.

2. Partisipasi mayarakat yang rendah dalam keterlibatan penyusunan anggaran di daerah.
Masyarakat sejatinya stakeholder dari proses otonomi. Dalam semangat UU No. 22/25 2004 yang sudah direvisi menjadi UU no 32 tentang otonomi daerah dan perimbangan keuangan daerah, pelaku utama dan orang yang seharusnya memegang kontrol pemerintahan adalah rakyat. Berkait dengan perubahan orientasi seperti itu, kebijakan bergeser dari top-down menjadi bottom-up. Namun, dalam kenyataannya orientasi ini masih bersifat kamuflase, pura-pura, belum mencerminkan sikap demokratis yang sesungguhnya.
Sekedar contoh misalnya, dalam MUSBANGDES di salah satu desa di kecamatan Jalaksana, mengundang masyarakat, tokoh, ketua, RT/RW, LPM dan BPD. Dalam rapat tersebut diidentifikasi kebutuhan-kebutuhan yang mendesak dan segera harus ditangani, mulai dari rehabilitasi / membangun sekolah desa yang mau roboh, irigasi, pemberdayaan masyarakat, ekonomi masyarakat, perbaikan jalan dan pembangunan musholla/masjid dibicarakan dalam rapat ini. Namun ketika sampai di tingkat kecamatan dalam rapat Unit Daerah Kerja Pembangunan [UDKP] yang dihadiri kepala desa dan camat, masalah tersebut ditiadakan hanya tertinggal satu masalah yang dianggap prioritas. Akhirnya disepakati forum untuk membangun sekolah desa yang mau roboh. Di tingkat kabupaten, dalam Rapat Koordinasi dan Pembangunan [RAKORBANG] yang dihadiri pemerintah kabupaten, para camat dan juga kepala desa, masalah hanya tertulis pada pembicaraan nominal yang akan dikucurkan ke masing-masing desa. Masalah yang telah diinventarisasi yang dimunculkan dari hasil rapat sama sekali tidak disinggung di forum ini. Hasil proses ini disetujui bahwa desa pada anggaran 2003 memperoleh bocoran subsidi sebesar 12,5 juta.
Di desa tersebut, timbul kejanggalan yang muncul kepermukaan sebab kepala desa dengan otoritsnya mengambil keputusan sepihak. Uang yang didapat dari subsidi kabupaten, sebesar 12,5 juta tersebut tidak dipergunakan untuk membangun sekolah desa yang hampir roboh, tetapi disalahfungsikan untuk membuat/membangun keramik balai desa, yang sebenarnya sudah diplester semen licin, dan baik. Ini kalau dilihat dari rata-rata rumah masyarakat desa. Pengingkaran ini jelas terjadi dan berlangsung pada masyarakat, disebabkan akses masyarakat dan partisipasi yang kurang.
Partisipasi masyarakat yang kurang berikut inplikasinya, dapat pula dilihat dari proses penyusunan di tingkat DPRD. Komisi anggaran yang menyusun RAPBD, bersama eksekutif seharusnya melakukan hearing atau memberi peluang kepada masyarakat untuk ikut mengontrol dalam "uji kelayakan RAPBD ". Namun lagi-lagi ini tak terjadi, karena selain akses-akses partsipasi masyarakat terbatas, kondisi dewan dan eksekutif sendiri rupanya tak menghendaki campur tangan masyarakat untuk terlibat dan mengetahui detil RAPBD. Akibatnya bisa ditebak jika kemudian APBD Kuningan pada akhirnya memberikan porsi anggaran yang kecil pada sektor/bidang pendidikan, pertanian, pemberdayaan masyarakat dan kesehatan.

3. Pemahaman keagamaan yang dikotomis
Pemahaman seperti ini dalam tingkat tertentu akan mematikan roh agama. Agama akan gagal berdialog dengan realitas yang terjadi dan problem yang dihadapi masyarakat. Agama menjadi senjata yang sakti ketika berhadapan dengan perilaku masyarakat, tetapi tumpul jika berhadapan dengan kekuasaan. Agama akan mudah bicara "haram" pada togel, judi, pelacuran yang dipilih masyarakat karena kecewa tak ada pekerjaan lain, atau sumber penghidupan yang layak. Tetapi haramnya terdengar sayup-sayup — bahkan sama sekali tak terdengar —, jika itu berupa korupsi yang dilakukan oleh pejabat, ketidakadilan atau distribusi yang timpang yang dilahirkan oleh pejabat dalam APBD.
Dikotomi ini sangat terasa dan kasat mata ketika dalam forum bahsul masail "zakat ONH, dan perhiasan" yang dilaksanakan di masjid terbesar Kuningan, Masjid Syiar al Islam, yang diprakarsai oleh BAZ (Badan Amil Zakat) Kabupaten Kuningan. Dalam salah satu komisi yang membahas tentang zakat ONH (Ongkos Naik Haji) menjadi perdebatan sengit tentang keabsahan memberi sumber rujukan yang memperkenalkan pemungutan zakat ONH. Karena haji pada dasarnya tassaraful mal dijalan Allah., sehingga tak ada qiyas yang dapat digunaan untuk mengambil zakat. Meskipun pada akhirnya BAZ tetap mengusulkan shodaqoh tathawwu', yang diambil dari jama'ah haji, dan dikelola oleh BAZ Kabupaten Kuningan.
Dalam komisi yang sebenarnya membicarakan hal yang tidak strategis ini, bahkan penulis menganggap itu berbahaya, sebab ulama (NU, Muhammadiyah, MUI) yang diundang pada acara itu dapat menjadi orang yang melegitimasi Pemda untuk menarik zakat atau sodaqoh pada jamaah haji. Dan ini tentu yang dirugikan adalah masyarakat dan jamaah haji yang sudah menanggung biaya sangat mahal. Dalam kondisi ini penulis mengusulkan tentang hal penting yaitu bagaimana jika forum membahas saja tentang uang APBD yang dipakai biaya naik haji pejabat, yang sebenarnya sudah digaji besar ? Bagaimana ulama dan agama memandang masalah tersebut ? Sungguh ironis usulan yang dikemukakan penulis dijawab dengan acuh oleh sesepuh asal Cilimus [maaf tak disebut namanya demi alas an etika] dengan jawaban : ...", "Sudahlah kita tidak usah ikut masalah ini, itu biar ditanggung sendiri oleh pejabat !". Di sini dikotomi ini menggiring agama tak perduli pada masalah besar, bahkan sekedar dimanfaatkan untuk keputusan yang sebenarnya merugikan masyarakat atas legitimasi agama.

4. Faktor ketidakcerdasan dan lemahnya kinerja DPRD
Anggota dewan atau legislatif, sebenarnya representasi dari masyarakat yang diharapkan dapat mengontrol, mengawasi dan membuat kebijakan atau undang-undang yang memihak pada kemaslahatan masyarakat. Namun dalam kenyataannya, semua harapan tersebut sekedar isapan jempol. Hal seperti ini menjadi menarik diamati, bagaimana mungkin mengharapkan dewan yang contradiction interminis (memiliki masalah di dalam dirinya). Pemilu 1999 adalah kemenangan bagi kelompok abangan. Dominasi kelompok ini demikian luar biasa pengaruhnya di dewan. Ketua dewan adalah orang yang langsung dididik dan punya pengaruh di terminal Kuningan, apalagi ditambah kolega seprofesi dari Kadu Gede dan Ciawi yang sama-sama masuk dilegislatif, bukanlah hal sepele. Suara mayoritas dan didukung 17 kursi di dewan pada periode 1999-2004, adalah kemenangan PDIP dalam mengelola arah dan kemudi. Dewan kemana bahtera akan diarahkan dan dibawa.
Hasil pemilu 1999 dan terposisi dewan Kuningan 2004 sebagaimana dijelaskan di bawah ini turut menentukan hitam putih nasib masyarakat Kuningan.


Tabel Perolehan Kursi DPRD Kuningan 1999-2004
No.

Partai

Jumlah

01

PDIP

17

02

Golkar

8

03

PPP

7

04

PAN

2

05

PKB

2

06

PBB

1

07

PKS

1

08

TNI

5


Dewan inilah, partai dan perolehan kursi yang berperan dalam penentuan anggaran dan belanja daerah. Kenapa anggaran demikian timpang dan tahun 2000-2004 yang kurang memberikan pemihakan kepada kepentingan publik dan hanya memberikan porsi besar pada anggaran rutin, tidak lepas dari peran dan tanggungjawab dewan diatas. Apa yang dilakukan oleh 17 anggota dewan PDIP, 8 anggota dewan dari Golkar, 7 PPP, 2 PAN, 2 PKB, 1 PBB, dan 5 TNI, tercermin dari distribusi anggaran sebagaimana dijelaskan dalam tabel perbandingan anggaran rutin dan anggaran pembangunan APBD Kabupaten Kuningan 2001-2004 diatas.
Anggota dewan perlu kiranya dibekali dengan teknis pembuatan anggaran, mengetahui filsafat anggaran dan alokasi anggaran yang memihak kemaslahatan publik,
serta asal usul dan alokasi anggaran. Jika ini tidak dilakukan sulit berharap pada anggota dewan hasil pemilihan umum berikutnya untuk dapat memberikan pemihakan kepada anggaran yang rahmat bagi masyarakat lemah.
Tak ada perubahan signifikan dari komposisi anggota dewan hasil pemilu 2004. Untuk DPRD periode 2004-2009, perubahan yang tak terlalu mendasar. PKS naik perolehan suaranya dengan mendapat 7 kursi, naik 6 perolehan kursi dari angka sebelumnya yang hanya 1 kursi. Golkar naik pula perolehan suaranya, 10 kursi dari 8 kursi pada pemilu 1999, PKB dari 2 kursi menjadi 5 kursi.
Sementara partai lain mengalami penurunan jumlah perolehan suara PDIP yang semula memiliki 17 kursi turun menjadi 13 kursi, PPP 7 kursi menjadi 4 kursi, sementara PBB tetap 1 kursi dan juga PAN tak berubah dari kondisi semula, yaitu 2 kursi, posisi lain adalah Partai Demokrat, pendatang baru yang mendapat 2 kursi.

Tabel Hasil pemilu 2004
Dan perolehan kursi DPRD Kuningan 2004-2009

No.

Partai

Jumlah

01

PDIP

13

02

Golkar

10

03

PKB

5

04

PKS

7

05

PAN

2

06

PPP

4

07

PBB

1

08

Demokrat

2


Dari komposisi di atas tak banyak yang bisa diharapkan untuk melakukan perubahan secara mendasar pada distribusi pengangguran yang memihak pada kemaslahatan publik, jika permainan baru itu sama-sama tak memiliki pemahaman dasar tentang teknis dan teologi anggaran. Naiknya pemain baru yang sebelumnya merupakan aktivis dakwah, PKS atau PKB, misalnya, masih perlu diuji. Dan waktu pula nanti yang membuktikan apakah mereka ini dapat berbuat banyak. Jika toh pada akhirnya mereka juga terjebak pada lingkaran sistem yang membelenggu dan mereka tak berbuat apa-apa, statis, tak punya kreatifitas mewarnai dewan, ini sama saja kiamat bagi masyarakat miskin di daerah ini.

5. Patronase dan Relasi Kuasa
Patronase dengan pemerintah, adalah hal lain yang nampak ke permukaan. Ruang publik yang terbuka, suara nyaring kebebasan, kritik dan protes dari lembaga swadaya masyarakat, ormas, partai, organisasi profesi, pers, dan pengusaha atau mungkin juga pesantren, mengalami kelumpuhan akibat patron client dengan penguasa setempat.
Fenomena ini muncul akibat tak ada alternatif lain yang dijadikan pilihan aktivis berkaitan dengan pendapatan dan masalah ekonomi yang menghinggapi kehidupannya. Dalam sebuah seminar korupsi di Hotel Prima Kuningan, dosen STIKIP/UNIKU Zaenal Abidin, M. Pd, menyebutkan "jika anda ingin kaya di Kuningan jadilah aktivis....!". Aktivis di Kuningan dapat disebut sebagai anak emas Bupati. Orang-orang yang kritis akan dirangkul dan diberi konsesi material sebagai upaya pembungkaman bahkan pada tingkat tertentu Zaenal Abidin menambahkan, aktivis mendapat jatah mengisi formasi PNS daerah atau menjadi kurir untuk membawa orang yang akan masuk sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Kondisi dan realisasi yang seperti ini, menyebabkan relasi kuasa yang membelenggu sehingga ketimpangan dan ketidakadilan sulit dihindari, bagaimana mau mengkritik kalau semuanya menikmati dan terlibat politik kepentingan dalam relasi Patronase.

6. Problem mental kekuasaan
Penguasa atau pejabat sejatinya adalah pelayan rakyat. Tetapi ini tak berlaku di sini. Yang berlaku adalah "pejabat adalah raja". Konsekuensinya dari pandangan seperti ini masyarakat harus membiayai kehidupan rajanya, akibatnya seluruh sektor kehidupan masyarakat tak ada yang beres dari sergapan pajak. Pandangan seperti ini berjalan dengan sikap aparat dari desa sampai bupati. Disetiap kesempatan selalu bicara dan hanya menyoal soal pajak. Pajak adalah logika dan khotbahnya para pemimpin. Adigiu "orang bijak, taat bayar pajak", "masyarakat bijak, taat bayar pajak", adalah simbol dan poster yang dapat ditemui di spanduk-spanduk jalan, pamplet dan poster yang ditempel di pohon-pohon, bahkan sampai nomor rumah setiap pelosok, semua disertai dengan pesan. Mayarakat melek dan meremnya tak lepas dari kesadaran pajak.
Kampanye pajak ini, disertai dengan peningkatan biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat. Masyarakat harus menanggung kenaikan pajak bumi bangunan (PBB) hampir 200%, pajak kendaraan motor, naik 100%. Pajak penerangan, hotel, restoran, reklame, perkir, SIUP, perizinan, pajak bermotor, dengan kenaikan signifikan. Pokoknya semua gerak masyarakat tak ada yang lepas dari pajak. Makan mie ayam di pinggir jalan, makan sate, masuk warung semua kena pajak. Kuningan yang tak punya stasiun dan pemancar TV pun, menarik pajak TV. Bahkan pada 2004 mentargetkan 250 juta dari pajak TV ini. Masalah ini yang dikecam Ishadi, ketua Asosiasi TV Swasta Nasional, yang menyebut Bupati Kuningan sebagai orang tak rasional. "Bagaimana mungkin memungut pajak TV, emangnya TV lewat wilayah Kuningan?". Tanpa menyediakan antenna transmisi, pemancar dan fasilitas apapun yang berkait dengan penyiaran, tetapi memungut pajak TV.
Inilah problem mental kekuasaan di daerah ini. Semua pejabat dari RT, desa, camat, sampai bupati seragam tak ada dalam benak mereka selain pajak dan pajak di hampir setiap kesempatan bertemu dengan masyarakat. Mereka lupa apa program kerja, untuk apa pajaknya, bagimana kemiskinan dan pengangguran yang dihadapi masyarakat, semua terabaikan.

Kontrol Publik atas Anggaran Daerah
Distribusi anggaran pembangunan yang tak seimbang antara alokasi dana publik dan rutin menjadi delematis. APBD tak mencerminkan kesungguhan dalam membangun
dan memberdayakan masyarakat Kuningan. Akses dan kontrol masyarakat yang rendah disertai partisipasi yang kecil, pemahaman keagamaan yang dikotomis, serta patronase, sikap legislatif yang statis dan rendahnya mental kekuasaan, memicu lahirnya ketidakseimbangan pengangguran. Ini jelas berdampak kurang baik bagi kelompok masyarakat miskin, petani, peternak, murid, remaja, kelompok marjinal yang tidak punya kesempatan menikmati kecukupan hidup. Kondisi ini jika dibiarkan hanya akan menguntungkan klan penguasa dan patronase yang diciptakannya.
Kondisi semacam ini tak dapat dibiarkan berlarut-larut. Di tengah-tengah kondisi seperti ini membutuhkan peran serta masyarakat untuk memberi energi baru dengan melatih community Organizer untuk gerakan rakyat anti korupsi. Saatnya sekarang ini. menciptakan APBD Kuningan dan Cirebon yang Memihak pada Kemaslahatan Ummat.
Agamawan dapat berperan dan terlibat advokasi tentang APBD, membedah kondisi APBD Kuningan dan Cirebon, serta menempatkan secara proporsional bagaimana syariat Islam memandang tentang anggaran negara, memberi cara pandang baru bagi peserta, berkaitan dengan hak-hak, asal-usul dan hakekat anggaran, yang sebenarnya sekedar dititipkan pada penguasa sebagai 'amil yang mengatur distribusinya bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan kemaslahatan rakyat. Para ulama LSM, aktivis, dan pesantren selama ini tak peduli pada APBD berkait dengan tidak adanya informasi mengenai APBD, akses kurang dan tak paham apa itu APBD. Perlu NGO sebagai narasumber mengadvokasi masyarakat untuk melihat kenyataan bagimana APBD selama ini tak pernah secara serius memperhatikan kepentingan masyarakat bawah.
Ulama, agamawan dan masyarakat seharusnya merasa berdosa, sebab mereka melupakan tanggung jawab ini. Is;lam memiliki pandangan anggaran dan anatomi zakat dan segala implikasinya bagi hak-hak rakyat [pembayar pajak] dan kewajiban penguasa, menambah kesadaran baru, bahwa mereka selama ini tak peduli untuk ikut membangun kesadaran publik, melakukan fungsi kontrol, amar ma 'ruf untuk anggaran bagi kemaslahatan masyarakat dari anggaran pembangunan di APBD. Ini jika dibiarkan sama dengan membiarkan ketidakadilan. Ini adalah dosa, sebab tugas ulama adalah amar ma'ruf. Dakwah yang baik adalah memberi nasehat pada penguasa. Jika ulama diam dengan ketimpangan penguasa adalah dosa besar, dan termasuk golongan iblis di Neraka. Sabda Nabi, sepuluh golongan orang yang menjadi teman iblis dari umat Nabi, salah satunya adalah ulama atau orang alim yang membiarkan atau membenarkan penguasa di dalam ketimpangan; Al 'âalimu alladzy shaddaqa al 'amîra fiyjûrihi.
Gaung dari genderang perlawanan terhadap anggaran yang tidak berfihak kepentingan public harus terus digerakkan. Masyarakat harus terlibat dalam proses pembuatan pengganggaran sehingga anggaran berfihak untuk kepentingan public. Kesehatan, Pendidikan, perumahan dan kesejahteraan harus menjadi foku utama. Akses perluasan masyarakat dalam keterlibatan masyarakat dalam proses penganggaran bukan saja berhenti pada Musrenbang di Desa, tetapi hars tetap berlanjut pada Musrenbamng Kecamatan dan Kabupaten. Kontrol, kelayakan, dan akses harus secara seksama menjadi bagian tak terpisahkan dari keterbukaan masyarakat sebagai stake holder. Kita masih perlu asistensi dari lembaga yang kredibel, semisal dari Internasional Transparancy, Indonesian Corruption Watch [ICW], Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia [LIPI], Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat [P3M], atau juga dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran [FITRA] dan Bandung Institute for Government Studies [BIGS]. Untuk merealisir kerja seperti ini, kehadiran NGO tersebut sangat membantu dalam memberi bantuan SDM [asistensi SDM] untuk meningkatkan dan menambah dukungan psikologis aktivis di daerah.

Catatan Penutup :Rekomendasi
Munculnya ketidakadilan dalam penganggaran, antara anggaran rutin dan pembangunan publik sebagaimana ditemui di APBD Kuningan, jelas membawa pengaruh pada seluruh kebijakan dan sektor kehidupan masyarakat [politik, sosial, budaya, ekonomi]. Ini tentu berakibat buruk pada masyarakat bawah.
Untuk memperjuangkan anggaran yang berpihak pada kemaslahatan publik memerlukan senergi dari berbagai organ dan komponen masyarakat, LSM, Media, Akademis, partai, ormas, pesantren, eksekutif dan legislatif untuk secara sinergi melakukan untuk menciptakan anggaran yang memihak pada kemaslahatan masyarakat diantaranya :
1. Melakukan kerja penguatan dan fungsi kontrol serta akses masyarakat pada penyusunan anggaran dan belanja daerah.
2. Membuka partisipasi masyarakat dalam pembuatan dan penyusunan kebijakan publik.
3. Mengusahakan tersedianya kelompok penekan [pressure group] baik dari kalangan pesantren, LSM, ormas, mahasiswa, akademis sebagai kekuatan penyeimbang, sekaligus menjaga ruang kebebasan publik [Free Public Sphere].
4. Melakukan kajian dan pendidikan secara berkesinambungan berkait dengan anggaran, kebijakan, perda dan perundang-undangan.
5. Secara bertahap dan berkesinambungan diadakan training tentang advokasi, analisa sosial, atau teologi anggaran/fiqh anti korupsi.
6. Menyediakan asisteni SDM dan Finance, untuk merancang dan mobilitas, serta memperkuat opini dan media.
7. Melibatkan peserta pelatihan yang heterogen, berbagai elemen masyarakat. Lebih baik jika lintas disiplin, lintas agama dan tidak partisan.
8. Mengusahakan transparansi dan akuntabilitas borokrasi dalam mengelola keuangan daerah. Di sini penting memiliki budget monitoring team yang dibentuk masyarakat, dari orang-orang yang dianggap kredibel.

Tidak ada komentar: