Rabu, 10 September 2008

DILEMA PSIKOLOGIS MENENTUKAN PILIHAN AGAMA:

Oleh: Moh. Sulhan

A. Pendahuluan
Ketidaknyamanan psikologis dalam menentukan pilihan agama, merupakan problem interreligious di wilayah III Cirebon. Padahal, semua agama diyakini pemeluknya dapat menjadi piranti dalam memperoleh rasa damai dan harapan memperoleh keselamatan. Misi agama yang dibawa para Nabi di muka bumi ini, adalah untuk menciptakan kehidupan manusia menjadi lebih berarti. Fazlur Rahman menyebut tujuan agama adalah untuk menciptakan struktur masyarakat yang adil, damai dan sejahtera didasarkan pada etik.[126]
Bahkan dalam banyak sumber-sumber literature keagamaan yang menjadi rujukan manusia dewasa ini, agama memuat fungsi spiritual, fungsi psikologis dan sosial sekaligus.[127] Agama adalah tempat paling nyaman untuk memperoleh kedamaian dan kenyamanan hidup. Doktrin agama seperti ini menjadi domain utama di kebanyakan kognisi umat beragama.
Namun, konsepsi yang terbangun di atas, tak sejalan dengan realitas sosial yang ada. Agama malah berubah status derajat, berbalik deametal, membelakangi apa yang semula diidealkan oleh agama. Agama sebaliknya malah menjadi picu konflik di berbagai daerah. Agama tampil dalam wajah yang menakutkan, menjadi sumber legitimasi melakukan kekerasan. Kekerasan dan konflik yang dimotivasi agama, sebagaimana nampak semisal di Poso, Papua, Kalimantan, Sulawesi, Ambon, Maluku, Tasik, Madura dan sebagainya, dalam kadar tertentu juga menjadi ancaman di wilayah III Cirebon.
Agama yang bagi pemeluknya merupakan problem of ultimate concern,[128] dalam persinggungannya dengan dinamika sosio-kultural, sering terabaikan oleh kepentingan manusia yang makin meningkat [rising demands]. Akibatnya peran vital agama sering kali tereliminasi dalam kehidupan manusia. Agama sekedar menjadi alat yang dimanipulasi untuk memuaskan kepentingan manusia. Agama yang semula menjadi basis ruhaniyat,[129] yang memuat tata keimanan, peribadatan dan norma-norma yang menjadi pijakan membangun kesatuan jiwa dan badan mengabdi pada Tuhan,[130] kehilangan spirit transendentalnya.
Intervensi berbagai kepentingan [ekonomi, politik, sosial] pada agama telah memunculkan berbagai konflik dan radikalisme agama. Meski persoalan radikalisme agama mencakup berbagai persoalan yang komplek. Persoalan berkait dengan berbagai dimensi kehidupan, seperti keyakinan, intepretasi ajaran, hubungan personal dan kemasyarakatan.[131] Bahkan berkait dengan tingkat pendidikan, lingkungan sosial, tradisi budaya, keimanan dan pemahaman terhadap setiap perubahan. Namun, munculnya kekerasan yang dimotivasi klaim-klaim keagamaan dalam tingkat tertentu dapat memporak-porandakan kohesivitas dan keterpaduan masyarakat. Jika ini terjadi, dan tak disikapi dengan baik akan menggiring pada munculnya gangguan serius pada upaya penguatan basis komunitas, penguatan masyarakat dan pembangunan dalam arti yang sesungguhnya. Konflik agama akan melumpuhkan setiap prakarsa, kreatifitas dan cita kemajuan dan kesejahteraan yang menjadi cita-cita bersama umat beragama.
Di tengah maraknya kebangkitan global kekerasan agama, meminjam bahasa Mark Juergenmeyer,[132] inisiasi Pusat Pengkajian dan Penerbitan Italian [LP3I] STAIN Cirebon mengadakan pemetaan potensi interreligiuous [hubungan antar agama], merupakan terobosan strategis. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari dua alasan: Pertama, hubungan antar agama di wilayah III Cirebon, selama ini sifatnya masih berjalan setengah hati, meski ada beberapa forum yang secara reguler mengadakan pertemuan, tetapi belum dapat menjembatani berbagai persoalan yang muncul yang melibatkan masyarakat beda agama. Kedua, di wilayah III Cirebon masih banyak ditemui beragam penganut agama dan keyakinan agama, yang sampai hari ini masih merasakan tekanan psikologis yang luar biasa akibat bias pandangan masyarakat berkait perbedaan keyakinan agama dan perbedaan intepretasi agama. Akibat seperti ini muncul intimidasi, keberat-beratan, dan berujung pada lahirnya ketakutan-ketakutan dalam menjalankan aktivitas keagamaan. Pilihan beragama menjadi problem psikologis, bahkan dapat menjadi ancaman serius yang dapat mengancam keselamatan jiwa penganutnya.

B. Beberapa Pertanyaan Pokok dan Metode Evaluasi
Masalahnya adalah bagaimana beragama dapat memberikan dampak sosial, khususnya dalam wilayah III Cirebon yang multi agama. Untuk menjawab masalah tersebut membutuhkan beberapa pertanyaan misalnya, bagaimana pandangan keagamaan dari setiap tokoh masyarakat dari berbagai latar belakang, bagaimana memotret masalah-masalah yang berkait dengan hubungan antar agama, rintisan dialog dan harapan-harapan yang berkembang terhadap inisiasi dan pemantapan tekad membangun hubungan antar agama [interreligious], dan kebutuhan mengembangkan harapan ini dalam membentuk institusi.
Ada beberapa indikator yang dapat dijadikan pijakan dalam evaluasi pemetaan potensi keberagaman bagi interreligious, khususnya pada penekanan bagaimana agama tersebut memiliki dampak sosial. Pertama, pada tingkat kognitif seberapa jauh tingkat pemahaman masyarakat telah mampu melakukan transformasi ideologis tentang pemahaman agama yang diciptakan Tuhan dalam keadaan tidak tunggal. Kedua, seberapa besar pemahaman keagamaan itu memiliki dampak dalam bentuk tidak melakukan kekerasan, intimidasi, atau dendam kepada penganut agama yang berbeda.
Dengan menetapkan lokasi secara purposive [sengaja], yaitu Indramayu, Majalengka, Kuningan, Kota dan Kabupaten Cirebon yang telah ditetapkan, kajian evaluatif interreligious ini telah mewawancarai 66 responden dari berbagai latar belakang. Seperti kyai, tokoh lintas agama [Islam, Kristen, Protestan, Budha dan Hindu], Pejabat Daerah [Departemen Agama dan Kesra] dan anggota dewan dari lima kota, aktivis dari NGO [Non Government Organization], tokoh masyarakat, akademis, budayawan dan orang yang dianggap memiliki pengetahuan memadai dari masalah yang berhubungan dengan subyek atau obyek penelitian.
Ada dua metode pengumpulan data yang digunakan: Pertama dengan wawancara mendalam [dept interview] tak terstruktur [unstructured] terhadap informan terpilih dan focus discussion group [FGD] baik dengan para pendamping korban diskriminasi atau kekerasan atau langsung dengan korban [testimony] sebagaimana dilakukan dengan korban Dawuan, Majalengka, Cigugur, Manis Lor, dan Caracas. Obyek penting selain pelaku atau informan dalam penelitian ini, juga sangat dibantu oleh obyek material berupa naskah-naskah, dokumen dari Departemen Agama, Badan Pusat Statistik [BPS], dokumentasi dan arsip baik dalam bentuk compact disk [CD] atau publikasi media. Data penelitian dan temuan lapangan yang berhasil direkam, kemudian dianalisa melalui interpretasi surface structure dan dept structure untuk memberikan pemaknaan terhadap masalah yang diamati.
Beberapa materi sudah dikategori, tetapi jika disederhanakan paling tidak ada pertanyaan besar dalam evaluasi penelitian pemetaan potensi interreligious. Pertama, bagaimanakah hubungan antar agama yang terjadi di wilayah III Cirebon, adakah temuan-temuan yang menunjukkan ada hal-hal yang dapat mempengaruhi hubungan antar umat beragama. Kedua, bagaimanakah persepsi yang muncul di masyarakat, berkait dengan fakta yang ditemukan di wilayah di mana masalah tersebut berada. Ketiga, bagaimanakah harapan-harapan masyarakat berkait dengan masalah yang dapat mengganggu hubungan antar agama dari masing-masing daerah.

C. Temuan Lapangan
Dari hasil penelitian di lapangan kurang lebih setengah bulan di wilayah lima kota ditemukan beberapa masalah yang berupa fakta-fakta konflik agama, masalah hubungan antar agama dan persepsi masyarakat akibat kurangnya informasi [lack of information] dan miskomunikasi yang dapat menjadi sekam [potensi konflik] yang besar, jika tak disikapi dengan bijaksana dan arif. Masalah tersebut dapat disebutkan sebagai berikut; keberatan akan pendirian gereja di Kandanghaur, kekhawatiran Dayak Indramayu Bumi Segandu, penyusutan makam China Kristen di Blok Bong Bundaran Kijang, bias praktek dokter Kristen Haurgelis [Indramayu], pendirian sekolah teologi al-Kitab STAPIN, stigmatisasi Syiah di Dawuan, Haur Koneng [Majalengka], diskriminasi penghayat, kekerasan Ahmadiyah, pembubaran el-Sakani Caracas, pendirian gereja jalan Sukahaji dan jalan Cigugur [Kuningan], makam Kristen Cipto-Kalijaga [kota Cirebon], Kristenisasi di LP Gintung Lor, bias praktek dokter Kristen yang pengaruhi iman pasien di RS Sumber Waras Asih Ciwaringin [kabupaten Cirebon].
Dari temuan-temuan di atas, dapat dijelaskan secara kritis mengapa masalah tersebut menjadi ganjalan yang dapat mempengaruhi hubungan antar agama di wilayah III Cirebon. Secara umum masalah tersebut dapat dianalisa sebagai berikut:
C.1. Masalah Perbedaan Interpretasi Ajaran Agama
Kekerasan agama terjadi di Kuningan,[133] berkait dengan keberadaan Jamaah Ahmadiyah Manis Lor. Kekerasan yang diwujudkan dalam bentuk perusakan 38 rumah anggota jama’ah dan pembakaran masjid dan dua mushala dipicu oleh perbedaan interpretasi tentang konsep Nabi. Ahmadiyah mengakui Mirza Gulam Ahmad sebagai Isa al-Masih yang diturunkan ke dunia kedua kalinya sebagaimana banyak disebut dalam al-Qur’an dan Sunnah. Pengakuan sebagai nabi yang diutus Tuhan ini dianggap menyimpang dari Islam. Perbedaan persepsi ini berkembang meluas, sementara komunikasi terhambat. H Didi Rasidi, dari Departemen Agama Kuningan menganggap Ahmadiyah sudah keluar dari Islam, karena mengakui nabi selain Nabi Muhammad. Menurutnya, "dalam Islam nabi terakhir itu ya nabi Muhammad, tak ada nabi selain dia, Ahmadiyah menganggap Mirza Gulam Ahmad sebagai nabi". Sementara menurut H Dudung [Ahmadi], "Ahmadiyah memandang Nabi dalam pengertian ini sebagai nabi umum [an-nubuwah al'âmmah, ghair tasyrir], yang tidak membawa syariat baru [an-nubuwah at-tasyri'iyyah]. Syariat yang diajarkan tetap syariat Nabi Muhammad". Tetapi juga mengakui tentang kedatangan nabi yang dijanjikan, dan itu sudah datang, yaitu Mirza Gulam Ahmad.[134]
Miskomunikasi dan ketegangan terus berlanjut, puncaknya terbitnya fatwa MUI Kuningan no 86/MUI-KFH/X/2004 tentang Penyimpangan Ajaran Ahmadiyah, dan Surat Keputusan Bersama [SKB] yang ditanda tangani Muspida Kuningan, Pimpinan DPRD, MUI tanggal 3 November 2003 tentang pelarangan jama’ah Ahmadiyah di kabupaten Kuningan. Kebebasan jama’ah Ahmadiyah otomatis jadi terbelenggu, tak dapat melaksanakan ibadah akibat Fatwa dan SKB ini. Tuntutan pembubaran semakin memuncak, dan buntutnya sampai pada perusakan 38 rumah dan pembakaran masjid dan mushala yang dianggap sebagai bentuk hukuman atas tetap digunakannya untuk praktik ibadah. Ini dipersepsi menyalahi keputusan SKB. Pengakuan Nana dari Gammas Kuningan, pada Radar Cirebon,[135] “Ahmadiyah telah menodai ajaran pokok Islam, ia sudah menyimpang jauh dari Islam, kami meminta Pemkab Kuningan memantau, memonitor, menganalisa", sebab menurut Nana, "Ahmadiyah telah melanggar Surat Keputusan Bersama [SKB] dengan tetap melaksanakan aktivitas mereka".
Ketua DPD jama’ah Ahmadiyah Kuningan Kulman Tisna Prawira menyayangkan terbitnya SKB tersebut yang seolah melegitimasi Ahmadiyah sesat. Menurutnya, "tak benar, kami membawa ajaran Ahmadiyah karena yang dibawa dan diajarkan Ahmadiyah adalah ajaran Islam yang bersumber pada al-Qur’an, Sunnah dan Hadits". Dalam kegiatan sehari-hari lanjutnya, "Ahmadiyah tak pernah berbuat meresahkan, kami patuh pada hukum, tak pernah membuat noda kepada pemerintah, misalnya meresahkan, mengganggu ketertiban, keamanan dan menghambat pembangunan". [136]
Disharmoni dan keadaan ini terus berlanjut dengan dilarangnya memperoleh Kartu Tanda Penduduk, dilarang pernikahan, sehingga harus mencari tempat lain di luar Kuningan. Menurut H. Dudung, "sampai hari ini sejak keluar larangan menikahkan Ahmadiyah dari tahun 2002, sudah 150 orang nikah di luar Kuningan". Miskomunikasi dan dishamioni berkait dengan perbedaan interpretasi keagagamaan ini telah melahirkan kekerasan agama. Meski sebenarnya juga ada faktor lain yang ikut memperparah keadaan ini, misalnya bias kepentingan ekonomi dan politik yang ikut memicu, akan dijelaskan dibagian lain tulisan ini.[137]

C.2. Problem Kesenjangan dan Kecemburuan
Masalah yang berkait dengan keberatan-keberatan dan gunjingan berkait dengan isu kristenisasi atau usaha mempengaruhi iman orang lain, setidaknya ditemui pada tiga tempat; [1] keberatan berkait dengan praktek pengobatan dokter Kristen di rumah sakit Sumber Waras Ciwaringin,[138] [2] kristenisasi di Lembaga Pemasyarakatan [LP] Gintung Lor, [3] masalah dokter Haur Gelis yang mempengaruhi iman pasien.
Persepsi yang berkembang di masyarakat, praktek pengobatan dengan mempengaruhi pasien, dianggap sesuatu yang memiliki tendensi negatif. Begitu juga upaya kristenisasi, dianggap sebagai tindakan yang tak bijak, meski ini sebenarnya dimotivasi oleh ajaran inti setiap agama. Dalam tradisi ajaran Kristenpun ada jelas disebut "tak memperkenankan ada domba tersesat di dunia".[139] Namun demikian, ini dianggap lain oleh komunitas Islam. Menurut Husna itu dianggap pemaksaan, "sebagai umat Islam itu pemaksaan, agama apapun melarang itu, dan itu melawan nurani".[140] Ketiga kasus diatas dianggap sebagai sesuatu yang sangat politis. Menanggapi hal itu, H Qasim,[141] salah satu Khatib di LP Gintung Lor mengingatkan, "jangan main politik dibelakang, misalkan dengan kedok kesehatan", sejalan dengan itu H Syakuri [Depag Indramayu][142] menambahkan untuk sebisa mungkin menghindari “memancing di kolam milik orang lain".
Namun, di luar komentar dan persepsi yang terbangun di atas, sebagian juga ada yang mengakui itu hanya sebatas kecemburuan akibat kesenjangan. Bukti yang dapat dibaca, atas argumen itu, misalnya berkait dengan kecenderungan melayani pengobatan yang diikuti golongan menengah keatas, serta kemajuan pesat pembangunan fisiknya. Aspek lain kepedulian yang lebih Kristen atas Islam, serta pembagian materi di LP Gintung Lor dianggap sebagai Kristenisasi. Ini lebih ke persoalan komunikasi dan ketakutan semata.
C.3. Pandangan Agama Lain Sebagai Ancaman
Polemik tentang pandangan yang menganggap agama lain sebagai ancaman, misalnya berkait dengan pendirian tempat ibadah. Polemik ini harus secepatnya dicairkan, sebab dapat mempengaruhi hubungan antar agama. Pendirian Gereja di Kandang Haur Indramayu, pendirian Gereja di jalan Cigugur Kuningan, Gereja jalan Sukamulya Kuningan dan pendirian Sekolah Tinggi al-Kitab STAPIN Majalengka, sampai hari ini masih mengandung masalah dalam hubungan antar agama.
Keberadaan lembaga keagamaan dan pendidikan keagamaan di atas sebagian dianggap menjadi ancaman komunitas Islam. Persepsi yang berkembang nampaknya mengarah pada kecenderungan ini. Moh. Syatori [Komisi B DPRD Indramayu] menyebutkan, "pembangunan Gereja di Kandang Haur, itu merupakan trik-trik tak sehat". la menambahkan "membangun tanpa pamit di lingkungan ibadah muslim terkadang sangat menyentuh harga diri. Kita tak pernah mengganggu orang lain, tetapi jangan membuat patok dan portal di jalan orang lain. Itu kan kelihatan mengganggu".[143] Pandangan agak mirip juga disampaikan oleh Rijaluddin [Komisi C DPRD Kuningan], menurutnya "Pembangunan Gereja Jalan Cigugur dan Sukamulya merupakan bentuk penjajahan dari agama-agama non Islam terhadap norma-norma, di mana membangun tempat ibadah di lingkungan muslim". Tambahnya, "jika norma-norma yang dilanggar, kaum muslim harus ada sikap".[144] Persepsi yang terbangun seperti ini menjadikan hubungan agama menjadi dingin, pasif dan penuh dengan kepura-puraan. Hal ini terungkap dari pandangan H. Abdul Karim [Depag Kuningan], menurutnya, "dalam hubungan antar umat beragama sudah ada, tetapi dalam kebersamaan misalnya, keakraban dibuat-buat, tak tulus, tetap seperti ada keganjalan".[145] Hal yang sama juga dirasakan STAPIN Majalengka. Keberadaan lembaga ini sampai hari ini tetap dipersoalkan oleh komunitas Islam, khususnya Islam garis keras yang memandang sebagai ancaman. Hadi Santoso [Pembantu Rektor] menyatakan "ya!, Kami merasakan masalah itu, kami tetap berusaha berbuat baik. Barangkali karena mereka yang menolak tidak tahu saja".[146]
Keberatan-keberatan mengenai tempat ibadah seperti ini menjadi dilematis, karena bukan saja menyangkut lisensi atau izin, tetapi prasangka dan ketakutan yang menganggap agama lain sebagai ancaman.

C.4. Bias Kepentingan Politik
Keterlibatan kepentingan politik dalam ranah agama, merupakan masalah besar yang menyeret agama dalam kondisi dilematis. Pertempuran antara dua sistem kepentingan yang melibatkan dua kelompok agama atau aliran, setidaknya telah menyebabkan penganut agama diklaim sebagai sesat. Kasus Penghayat Agama Jawa Sunda Cigugur [Madrais], Haur Koneng dan juga Ahmadiyah, tidak lepas dari keterlibatan dan tarik menarik politik.
Masalah Haur Koneng yang tetap menyisakan trauma psikologis bagi anak-anak dan keluarga Ustadz Abdul Manan, merupakan masalah serius politisasi agama.
Menurut Faizal,[147] "masalah Haur Koneng adalah masalah politik yang diseret kemasalah agama". Sementara Dadang[148] menyebutnya sebagai "pembangkangan ustadz pada kuwu". Masalah ini bermula karena masalah politik, disharmoni antara Kepala Desa Gunung Seureuh Rohamid dan Ustadz Abdul Manan, bermula dari boikot Abdul Manan pada Pajak Bumi Bangunan [PBB]. Karena dinilai desa ini paling jelek di Majalengka. Stigmatisasi sesat kemudian menjadi bentuk pengdiskreditan Abdul Manan. Puncak dari tuduhan sesat oleh Rohamid dan K. Zarkasi [MUI] ini masalah di-blow-up menjadi masalah politisasi agama. Ujungnya adalah korban puluhan jiwa pada Juli 1993. Masalah ini ramai kembali pada 2005, khususnya di Bandung, diberbagai pentas budaya dan seminar, menuntut rehabilitasi dan tuntutan keluarga korban untuk menghapus SK sesat dari Kejari Majalengka.
Stigma sesat pada penghayat Cigugur Kuningan [Madrais], juga tak lepas dari masalah politik. Menurut R.Gumirat Barma Alam,"itu sebagai caracter assasinasion, pembunuhan karakter".[149] Menurutnya, mata-mata Belanda [Steven] membuat persepsi negatif tentang ajaran Pangeran Sadewa Madrais Ali Basa putra dari Ali Basa [Kesultanan Gebang] yang meminum air keringat dan cara sembahyang yang mengelilingi tungku perapian. Persepsi itu kemudian dibesar-besarkan di kesultanan Cirebon oleh gubernur Van Leven. Stigmatasi sesat semakin besar ketika surat Ratu Helmina sampai ke demang-demang. Sampai hari ini penganut penghayat Cigugur dianggap tak beragama. Ini menekuk hak-hak sipil seperti KTP, Akta Kelahiran atau Akat Nikah.
Masalah politik juga sarat dalam kasus Ahmadiyah. Ahmadiyah yang dominan di Manis Lor [3000 jiwa dari 4000 jiwa] dari tahun 1954 selalu mendominasi kekuasan desa. Kecemburuan muncul setelah beberapa kelompok lain kalah bersaing [kekuasaan], juga politisasi masalah akibat perebutan siswa-siswi Amal Bakti dan MTs Manis Lor, politisasi agama kemudian muncul untuk mencari dukungan secara luas. Hal ini dapat difahami, mencari dukungan atas alasan politik sulit, tetapi ini mudah jika motifhya agama, apalagi bagi masyarakat yang masih rentan diagitasi sara dan agama. Isu sesat dan meresahkan masyarakat sebagai bungkus membungkam penganut agama yang berbeda dari keyakinan mayoritas yang dominan.

C.5. Perebutan Pengaruh dan Aset Ekonomi
Kelompok Islam yang juga mendapat fatwa sesat MUI Kuningan adalah el-Sakani Caracas, yang dipimpin Uju Djubaedi, S.Ag. Kelompok yang mengusung kajian pada ajaran Islam murni [lembaga studi kejernihan Islam] ini ujungnya juga dipaksa bubar. Setelah ditilik lebih jauh kasus ini merupakan tindak lanjut dari krisis akibat perebutan pengaruh dan aset ekonomi dari masyarakat yang terpecah. Masyarakat lokal dan masyarakat pengikut pemurnian. Sifat ekslusif dan pengikut yang bertambah, melahirkan gap yang akhirnya berujung pada tuntunan pembubaran dan klaim sesat.

C.6. Problem yang Berhubungan dengan Simbul Agama
Simbul-simbul agama dan juga praktek ibadah secara verbal yang berbeda dengan kebiasaan umum dapat menimbulkan persepsi negatif, jika tak didukung informasi yang memadai. Hal ini setidaknya terjadi pada agama Dayak Indramayu Bumi Segandu Losarang dan Penghayat Cigugur. Menurut M Djuendi, "melahirkan keberatan masyarakat, dianggap meligitimasi kemusyrikan".[150] Dalam kasus Dayak Indramayu, Pemda Indramayu memberikan bantuan sebesar 25 juta untuk membangun ”Tugu Setan” sebagai sarana pelengkap ibadah komunitas Dayak Indramayu. Namun, ini mendapat tantangan luar biasa, karena dianggap mendukung kemusyrikan.
Sementara simbul-simbul dari Penghayat Cigugur menurut Pangeran Gumirat, "sebagai alat peraga".[151] Menurutnya penjelasan mengenai kenapa simbul tungku? Secara logika ini gambaran dari nafsu amarah yang dapat menjadikan badan panas. Dahsyatnya panas jika bergolak di Kawah Candradimuka. Mahkota sebagai gambaran roh Insaniyah, dan 4 ekor naga sebagai simbul 4 nafsu [sawiyah, amarah, mutmainah, lawamah]. Roh Insaniyah harus menjadi imamnya dalam tubuh, bukan makmum. Seringkali kalah dalam perang hawa nafsu, akhirnya imam dipimpin amarah. Penjelasan ini tak sempat ditangkap komunitas lain, sehingga muncul persepsi negatif, sebagi sesat atau musrik.

C.7. Pluralisme dianggap Menodai Aqidah
Sebagian masyarakat masih menganggap interreligious, dialog antar agama, pluralisme dan mengajarkan perbedaan sebagai ancaman aqidah. Hal seperti ini, tuduhan sesat, stigmatisasi syiah dan sebagainya, dituduhkan kepada ustadz Syaihu Dawuan Majalengka. Masalah ini berawal "Saya mengajarkan perbedaan",[152] jawabnya. Berdasar testimoninya berawal dia mengajarkan perbedaan dalam pengajian yang dihadiri pemuda-pemudi dari beragam aliran; NU, Muhammadiyah, NII, Harakah, Syi'ah, Wahabi, Habaib. Menurutnya ia mengajarkan perbedaan, agar masyarakat dewasa, menjembatani semua golongan. Beberapa orang tak setuju ada pengajian yang mengajarkan perbedaan. Akhirnya komplain diluar untuk menghentikan pengajian. Tak kurang 20 kyai bertanda tangan untuk meminta fatwa pemberhentian Syaihu, "Syaihu sudah keluar Islam". Fatwa MUI pun keluar dan Syaihu diboikot disetiap jadwal ceramah dan khutbahnya. Sampai hari ini tak ada klarifikasi. Persepsi seperti ini misalnya disampaikan pula oleh Karmaludin Kasi Mapenda Depag Majalengka. Menurutnya, "cara pandang masing-masing agama sudah jelas, hubungan antar agama akan jadi masalah tabu".[153] Hubungan antar agama dianggapnya membawa dampak bagi masyarakat kurang baik, "Dikdas 9 tahun saja bermasalah, apalagi hubungan antar agama akan jadi masalah, lihat itu kasus Ushuluddin Bandung". Pluralisme tak difahami memadai sehingga ketakutan pencampur-adukan agama yang muncul kepermukaan.

C.8. Makam sebagai Problem Tata Kota
Masalah makam sebenarnya tanggung jawab negara. Jika negara tak dapat menyediakan sarana ini, problem yang muncul adalah benturan. Apalagi jika berkait dengan makam beda agama. Kasus ini setidaknya terlihat dalam masalah makam Cina-Kristen di Samsung Blok Bong Bundaran Kijang Indramayu dan Makam Kristen [Cipto-Kalijaga] yang menjadi ganjalan interreligious.
Persepsi tentang makam diungkapkan oleh Suseno Kurniawan, "Kita memiliki tanggung jawab moral terhadap leluhur".[154] Makam baginya merupakan masalah nilai dan penghargaan pada leluhur. Penyusutan dan pembongkaran makam yang tadinya seluas 20 ha tinggal 6 ha, oleh Pemda tentu merupakan pengabaian nilai sejarah dan tak menghargai dan diperhatikan. Kalah atas alasan pembangunan, ini sangat dilematis. Kasus serupa di Kota Cirebon misalnya, menurut Hediyana Yusuf "ini karena salah kebijakan, tak adanya visi, misi dan strategi, lihat tanah kosong bongkar".[155] Rencana pembangunan makam ini nyaris mengalami benturan besar, karena aksi K. Shalihin yang akan mengerahkan pemudanya, karena makam non muslim[156] Persepsi yang muncul makam adalah masalah konsensus budaya, konsensus masyarakat. Sebagai konsensus budaya menurut Adang Djumhur perlu "memperhatikan aspek psikologis". Prinsip utamanya adalah orang mati harus secepatnya dikubur. Bagaimana caranya, terserah ke masing-masing, meski negara harus menyediakan tempatnya. Perdebatan tentang makam ini berangkat dari bermasalahnya daerah dalam mengelola dan desain tata kota.
Dari pemaparan dan analisa seperti itu, gangguan interreligious berpangkal dari lack of information [kekurangan informasi], sehingga memicu timbulnya kecurigaan, kekerasan, penyesatan, gap, kecemburuan, bahkan dapat dengan mudah dipolitisir menjadi isu sara dan agama. Dalam kondisi seperti ini masalah ini dapat menjadi masalah besar dalam hubungan antar agama. Ditengarai problem seperti itu akhirnya memunculkan kekerasan agama, penyesatan, konflik berkait perebutan pengikut, konflik pendirian tempat ibadah, atau perebutan simbul-simbul keagamaan, kecemburuan, ketakutan, bahkan masalah sosial yang paling mendasar, yaitu mempermasalahkan makam dari orang yang berbeda agama. Masalah ini jika tak disikapi akan menjadi sekam yang dapat meledak setiap saat.

D. Harapan-Harapan
Miskomunikasi dan kurangnya informasi yang memadai antar umat beragama dapat melahirkan konflik, kekerasan, kecurigaan, miskonsepsi, gap, dan problem pikologis yang mengganggu kenyamanan hidup penganut agama. Ada beberapa harapan yang berkait dengan interreligious studi, sebagaimana diungkapkan oleh berbagai tokoh lintas agama dan pejabat atau tokoh masyarakat dan akademisi Wilayah III Cirebon.
Interreligious studi jika dibentuk dalam bentuk institusi, diharapkan tidak sekedar formalisme, tetapi harus fungsional, demikian harapan Wahidin, MM.[157] Interreligious harus memihak pada kualitas dan memahami persoalan di lapangan dengan baik. Lebih penting dari itu "merumuskan kebijakan dan strategi kerukunan umat", tambahnya. Hal sama juga diungkapkan H Syakuri,[158] bahwa selain untuk memantapkan fungsi akademis, memantapkan pola pikir dan menghindari hal-hal tak diinginkan, menurutnya "juga proaktif membina daerah-daerah wilayah III Cirebon membuka kehidupan agama yang toleran dan tasamuh". Tokoh lintas agama, Suseno Kurniawan menambahkan "visi dan misi harus masa depan, berangkat dari kondisi keprihatinan negara dan menjembatani makin terciptanya kemakmuran masyarakat".
Dosen dan pejabat STAPIN Hadi Santoso[159] menyambut baik rencana interreligious. "Inisiasi yang bagus ini diimpartasi ke wilayah lain [disebarluaskan hasilnya], dan memantapkan fungsi akademis agama untuk bagaimana berkontribusi bagi masyarakat, bangsa dan negara". Sambutan juga disampaikan oleh Saeful Uyun, M.Pd,[160] menurutnya "adanya pro kontra berkait agama difasilitasi secara akademis sebagai proses pembelajaran". Ungkapan senada disampaikan Pengasuh Pesantren al-Mizan, H. Maman Imanul Haq,[161] dalam kehidupan dan keanekaragaman penganut agama, multikulturalisme seperti ini, interreligious studi diharapkan "dapat mengembalikan citra luhur agama, membebaskan masyarakat dan memberi kotribusi mengatasi konflik dan ketegangan yang berhubungan dengan agama".
Menampilkan wacana agama yang dapat memahami keragaman adalah kebutuhan penting untuk masyarakat saat ini. Menurut A. Gani OSC,[162] "interreligious dapat menjembatani komunikasi antar umat beragama, media atasi konflik, memajukan umat, dan sosialisasi agama bukan konflik". Namun penting pula diingat, jangan sampai mencari kesalahan-kesalahan dan keburukan salah satu agama, harap M. Mahmud Shilahuddin. Menurutnya "sebagai kajian ilmu harus obyektif, tak memperdayai dan memiliki benteng yang kuat agar tak merugikan".[163]
Dalam keragaman agama, interreligious diharapkan Edi Suripno, S.Ip.,[164] "dapat menjadi perekat sekaligus memantapkan pluralisme agama". Hal senada juga diharapkan H. Moh. Farid,[165] "bisa menyikapi perbedaan secara proporsional dan menghindari sikap eksklusif. Berkait dengan isu sensitif agama, interreligious menurut YC Abu Kasman OSC,[166] dapat menjadi departemen yang mengkaji filsafat, teologi dan kitab suci untuk menemukan kebenaran universal. Selain itu juga, "mencari nilai-nilai universal yang dapat membangun harmoni". Harapan juga disampaikan Johanes M,[167] "itu penting untuk kajian keilmuan dari agama-agama", lanjutnya "juga baik untuk membina hubungan baik, saling menghormati dan karya sosial", tokoh Budis Dr. Iwan Satibi[168] dan Romo Djunaedi menyambut positif. Itu bagus "teruskan saja, saya mendukung", ujar Iwan Satibi. Memahami perbedaan penting, bukan untuk memperuncing, tetapi memperkuat kerukunan, sambut Djunaedi.[169]
Interreligious tidak mengupas masalah aqidah, tetapi hubungan, mencari sinergi yang saling memahami bagaimana menata kehidupan. Demikian pandangan Drs. Masykur.[170] Menurutnya, "interreligious mampu menjembatani krisis dan fanatisme ajaran, dikembangkan menjadi hubungan kemanusiaan". Ismanuddin [UMC][171] meminta agar tujuan yang kongkrit, dan berangkat dari realitas. Sementara KH. Ahsin Sukha Mohammad,[172] interreligious baik, tapi "jangan sampai mengorbankan agama masing-masing, dan bukan untuk menekan orang lain". Perbedaan adalah rahmat, dan interreligious dapat "memupuk kemajemukan etnis dan agama", harap Steve Mardianto, M.Th.[173] ”Semoga pimpinan yang memahami pluralisme dapat terlahir dari sini”, tambahnya.
Untuk menyambut harapan-harapan ini, tentu membutuhkan forum interreligious yang kredible. Forum yang sudah ada dapat menjadi pacemaker dalam meletakkan dasar-dasar komunikasi yang memadai. NGO biasanya kuat secara lembaga, tetapi tak ada jaminan formalitas. Forum-forum musiman biasanya ada inisiasi, tetapi tak memiliki lembaga dan formalitas. Perguruan Tinggi mungkin ada secara lembaga dan formalitas, tetapi aspek pendanaan juga sangat terbatas. Forkama apalagi, sangat tidak jelas keberadaannya. Jalan yang dapat ditempuh mungkin membentuk "Forum Studi Bersama".

E. Kesimpulan
1) Menentukan pilihan agama dan keyakinan di wilayah III Cirebon [Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan] belum mendapat jaminan kebebasan sebagaimana harapan semua penganut agama yang menghendaki ketenangan dan kedamaian.
2) Menentukan pilihan agama dan keyakinan masih merupakan dilema yang mengganggu kenyamanan psikologis, bahkan sampai pada kekerasan yang mengancam jiwa.
3) Kurangnya informasi [lack of information] dari penganut agama menjadi ganjalan interreligious yang ditunjukkan dengan munculnya kecurigaan, kekerasan pada penganut agama berbeda, penyesatan, gap, kecemburuan, bahkan politisasi agama.

D. Rekomendasi
Berdasar temuan masalah dan kesimpulan diatas, berikut ini penulis rekomendasikan kepada berbagai lembaga sosial, ormas, parpol, Kampus, Pemerintah Daerah, Agamawan, peneliti dan lembaga-lembaga keagamaan atau forum-forum lintas agama untuk:
1) Membentuk lembaga studi atau forum bersama yang dapat meminimalisasi bias dari lack of information [kurang informasi], memfasilitasi kajian agama-agama, civil society, dan cross cultural studies yang dapat memantapkan hubungan antar agama [interreligious] secara memadai.
2) Perlu penelitian lanjutan untuk melihat masalah secara lengkap. Sebagai penelitian lanjutan untuk temuan ini, sehingga menjadi kesinambungan penelitian secara utuh dan saling melengkapi.












[126]Fazlur Rahman, Mayor Themes of The Holy Quran, (Chicago: Biblio Techja Islamica, 1980), h. 37.
[127] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, (Bandung: al-Ma'arif, 1995), h. 178.
[128] Agama adalah pandangan hidup yang akan terpatri dalam jiwa seseorang yang meyakininya la tak akan hilang, dan menjadi bagian paling asasi [ultimate concern], lihat dalam Endang Saefuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama, (Surabaya: Bina Ilmu, 1983), h. 117.
[129] Untuk melihat kajian menarik tentang hubungan agama, manusia dan Tuhan dapat dilihat dalam Ali Akbar, God and Man. Allah dan Manusia, Akar Kejadian. Hari Akherat, al-Quran dan Sains Modern, [Terjemah oleh Ahmad Rais], (Surabaya: Bina Ilmu,1989), h. XI [Pendahuluan]. Bandingkan dengan Mohammad Hamidullah, Pengantar Studi Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 109.
[130] Agama diyakini sebagai dasar yang paling kuat bagi pembentukan moral, sangat sukar mencari penggantinya jika peranannya merosot, Lihat Chotib Thoha, dkk. [editor], Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 297. Lihat makna agama bagi arah dan makna dan tujuan hidup yang tak dapat ditemui dalam kebudayaan materialistik dalam Maryam Jameelah, Islam and Western Society, A. refutation of The Modern Way of Life, (New Delhi: Adam Publisher, Chity Chobar, ,1996), h.307. Bandingkan dengan asas moral agama untuk membentuk manusia kamil dan bebas dalam Syafi'i Ma'arif, Membumikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1995), h.64
[131] Zainuddin Fananie, dkk., op cit, h. 3.
[132] Mark Juegenmeyer, op cit. h. 90

[133] Kehidupan keagamaan di Kuningan ditemui beragam banyak penganut agama. Dari 29 Kecamatan yang dimiliki terdapat total penduduk 1.044.045 jiwa. Mayoritas penduduk ini adalah penganut Islam, mencapai 1.035.437 orang, selebihnya adalah sejumlah 7.056 orang Katolik, 1.068 orang Protestan, 30 Hindu dan 444 Budha. Sejumlah penganut agama ini didukung dengan sarana ibadah sebanyak 697 masjid, 3.864 langgar, 1.621 mushala, 12 gereja dan 1 klenteng, Sumber Badan Pusat Statistik [BPS], Kuningan dalam angka 2002.
[134] Wawancara tanggal 12-05-2005 jam 18.30 dan tanggal 05-06-2005 jam 17.00.
[135] Radar Cirebon, 27/8/2004
[136] Disarikan dari obrolan penulis dan diskusi dengan jama’ah Ahmadiyah 21 Oktober 2003. Lihat pula dalam publikasi Pikiran Rakyat 13 November 2002.
[137] Masalah ini akan diperjelas dalam penelitian berikutnya yang akan melihat dari perspektif lebih luas, aspek sosio-ekonomi dan politiknya dalam penelitian lanjutan Mencari Akar-Akar Diskriminasi Minoritas Agama Untuk Memantapkan Pluralisme Agama.
[138] Dari hasil focus Disscused Group dengan komunitas Ciwaringin pada taggal 14 Mei 2005 jam 10.00 WIB., disebut Dokter Suwanto.
[139] Wawancara dengan Suseno Kurniawan Gereja Pante Kosta Indramayu [GKI], tanggal 9 Mei 2005, jam 18.30 WIB.
[140] Wawancara dengan Nurul Husna [Forum peduli Masyarakat Indramayu. FPMI] dan Edy Sofyan dari Forum Komunikasi Masyarakat Indramayu Barat [FKMIB] pada 9 Mei 2005. Jam 14.00
[141] Wawancara tanggal 16 Mei 2005. jam 14.00 di Pesantren as-Salafy Ciwaringin.
[142] Wawancara tanggal 10 Mei 2005. jam 15.00 di Depag Indramayu.

[143] Wawancara pada 9 Mei 2005, jam 12.43 di DPRD Indramayu.
[144] Wawancara tanggal 12 Mei 2005, jam 12.00 di DPRD Kuningan.
[145] Wawancara tanggal 12 Mei 2005, jam 10.00
[146] Wawancara tanggal 11 Mei 2005, jam 10.00 di Aula STAPIN
[147] Pendamping korban Haur Koneng, aktivis Progres Majalengka, wawancara tanggal 10 Mei 2005, jam 17.30.
[148] Wawancara tanggal 10 Mei 2005, jam 15.30.
[149] Penghayat Cigugur, anak pangeran Jatikusuma. Wawancara tanggal 12 Mei 2005 jam 08.10
[150] Wawancara tanggal 9 Mei 2005, jam 10.00-12.43
[151] Wawancara tanggal 12 Mei 2005, jam 08.10.
[152] Dia anggota MUI Dawuan, LDNU Majalengka. Wawancara tanggal 10 Mei 2005, jam 18.30.
[153] Pembantu Ketua II STKIP Majalengka, Kasi Mapenda Depag Majalengka. Wawancara tanggal 11 Mei 2005, jam 13.30.
[154] Anggota OKI. Wawancara tanggal 9 Mei 2005 jam 18.30.
[155] Ketua Komisi D DPRD Kota Cirebon. Wawancara tanggal 13 Mei 2005 jam 08.00.
[156] Wawancara dengan KH mahfudz MUI tanggal 13 Mei 2005 jam 19.00
[157] Kabag Kesra, Pemda Indramayu, Dekan Universitas Wiralodra. Wawancara tanggal 10 Mei 2005 jam 09.00
[158] Depag Indramayu, Pembantu Dekan III Unwir. Wawancara tanggal 9 Mei 2005 jam 14.00
[159] Wawancara pada 11 Mei 2005 jam 10.00
[160] Depag Majalengka, Ketua STAI Majalengka Wawancara pada 11 Mei 2005 jam 12.00.
[161] Wawancara tanggal 10 Mei 2005 jam 13.30
[162] Gereja Paroki Cigugur. Wawancara pada 12 Mei 2005 jam 09.00
[163] Kesra Pemda Kuningan, Ketua NU Kuningan. Wawancara di rumahnya pada kamis 19 Mei 2005 jam 17.30.
[164] Wakil Ketua DPRD Kota Cirebon. Wawancara tanggal 13 Mei 2005 jam 09.00 di Gedung DPRD.
[165] Depag Kota Cirebon, Muhammadiyah. Wawancara tanggal 13 Mei 2005 jam 11.00.
[166] Gereja Santo Yusuf. Wawancara tanggal 14 Mei 2005 jam 09.15.
[167] Gereja Bunda Maria Cirebon. Wawancara via telepon 14 Mei 2005 jam 10.00.
[168] Wawancara tanggal 10 Mei 2005 jam 17.30.
[169] Vihara Dewi Welas Asih Cirebon. Wawancara tanggal 14 Mei 2005 jam 12.00.
[170] Anggota Dewan DPRD Kabupaten Cirebon.
[171] Koordinator Pascasarjana UMC. Wawancara tanggal 14 Mei 2005 jam 11.00
[172] Pengasuh Pesantren Dar At-Tauhid Arjawinangun. Wawancara tanggal 15 Mei 2005 jam 07.30
[173] Pastor Gereja Bethal Arjawinangun. Wawancara tanggal 15 Mei 2005 jam 08.00

1 komentar:

Millah Ibrahim mengatakan...

Saya berikan apresiasi pada penulisan artikel atau penelitian di atas. Namun pada poin C.5 penulis sedikit memaparkan latar belakang pembubaran sakani di kuningan yaitu "perebutan pengaruh dan aset ekonomi masyarakat yang terpecah". Penulis sama sekali tidak menyebutkan adanya wawancara atau konfirmasi kepada pihak sakani sebagaimana yang penulis lakukan kepada pengikut Ahmadiyah. Sehingga dari mana penulis menyimpulkan hal tersebut ? Apakah hanya dari pihak yang berlawanan dengan pihak sakani ? Terima kasih.